Tuesday, March 16, 2010

The Guardian part 5

Sore itu Mia tidak bergegas pulang ke rumah. Ia lebih dulu menyuruh Arga pulang sendirian kemudian ia sendiri menaiki bus menuju pusat kota. Sebenarnya ini adalah pengalaman pertamanya naik bus umum. Mia sudah bertekad akan membelikan kado Viktor pada hari ulang tahunnya besok. Beberapa hari ini memang hubungannya dengan kakak angkatnya itu lebih dekat. Mereka kini saling berbagi rahasia dan sering menghabiskan waktu bersama.
Suasana dalam bus sangat penuh sesak. Mia harus berdiri berjejalan dengan penumpang lainnya yang kebanyakan pekerja kantoran yang baru pulang. bus yang mengangkut mereka mempunyai rute yang panjang sehingga sangat penuh oleh penumpang dari berbagai tempat di Rightstone. Bus tersebut tidak di lengkapi dengan AC dan dua buah pintu untuk keluar dan masuk penumpang selalu terbuka. Mia ngeri jika ia harus berdiri berdekatan dengan salah satu pintu tersebut. Meskipun gerah dan sempit, Mia lebih memilih untuk merapat ke tengah. Mia turun di depan halte Mall Silverstone setelah membayar ongkos kepada kondektur. Dari halte ia menyebrang jalan yang nyaris macet.
Mia sudah beberapa kali memasuki mall Silverstone sejak kecil namun ia tidak pernah hafal dengan letak-letak toko di dalamnya. Dengan canggung dia melangkahkan kaki ke dalam mega mall tersebut. Mia besyukur karena meskipun mall tersebut dipenuhi pengunjung tetapi suasana tidak terlalu ramai dan berjejalan karena mall tersebut sangat luas. Mula-mula Mia memasuki sebuah toko mainan namun ia tidak menemukan benda yang menarik untuk dihadiahkan pada Viktor. semua mainan di sana menurutnya lebih cocok untuk anak kecil. Mia sendiri tidak tahu apakah Viktor menyukai mainan. Berikutnya ia memasuki toko sepatu. Beberapa buah sepatu langsung menarik perhatiannya namun ia baru ingat kalau ia tidak pernah tahu berapa ukuran sepatu Viktor. Keluar dari toko sepatu, Mia memasuki toko asesoris. Ternyata di sana berisi macam-macam pernak-pernik perempuan padahal tadinya ia pikir mungkin ia akan menemukan gelang atau topi untuk anak laki-laki. Belum sempat berbalik untuk keluar dari toko terseut, Mia buru-buru disambut―lebih tepatnya dihadang oleh pramuniaga toko yang terlihat manis dengan seragam tokonya yang seba merah jambu.
“Nona, Ada yang bisa saya bantu? Anda sedang mencari asesoris macam apa, kira-kira?” tanya wanita yang Mia taksir sekitar duapuluh tahun.
“Err, sebenarnya saya sedang mencari kado untuk kakak laki-laki saya tapi sepertinya disini hanya menjual benda-benda untuk anak perempuan saja,” jawab Mia tidak enak hati.
“Hihihi. Tentu saja karena kami toko asesoris perempuan. Tapi tunggu dulu, apakah Nona sudah menyiapkan penampilan Nona sendiri untuk acara ulang tahun kakak Nona tadi?”
“Oh, nggak. Kami nggak mengadakan pesta kok―tapi kemungkinan kami akan pergi makan malam,” jelas Mia.
“Eh jangan begitu. Makan malam pun Nona harus berpenampilan maksimal untuk kakak tersayang yang sedang ulang tahun. Kami akan membantu Nona untuk penampilan Nona saat acara makan malam itu. mari ikut kami!” bujuk pramuniaga tadi sambil setengah menyeret Mia untuk memasuki sebuah pintu di belakang meja kasir.
Mia sudah ingin menolak ketika ia tiba sudah berada di ruangan yang berbeda dari toko tadi. mula-mula ia mengira bahwa ia akan diajak ke ruang kerja atau gudang sempit tetapi ia salah. Justru ruangan di balik toko asesoris itu sangat luas dan nyaman. Dari tempat ia berdiri, Mia bisa melihat pemandangan kota yang terhampar dari balik dinding kaca besardengan tirai-tirainya yang tersingkap. Di tengah ruangan terdapat sofa dan meja bundar besar. Pada bagian samping kanan terdapat dua buah kaca besar dengan kursi-kursi besar seperti sebuah salon kecantikan, dan memang seperti itu karena ia juga melihat rak-rak beroda yang berisi macam-macam alat kecantiakn seperti di salon. Bagian dinding kiri ruangan ditaruh lemari-lemari besar―Mia tak tahu apa isinya, tapi kemungkinan adalah pakaian karena di sebelah lemari tersebut terdapat rak-rak tempat menaruh sepatu-sepatu dengan berbagai bentuk dan warna. Mia baru sadar bahwa ada orang lain di sana selain dirinya. Sesosok wanita berambut ikal hitam yang diikat dua di atas telinganya. Dari bentuk pakaian yang dikenakannya, Mia menduga pasti wanita tersebut seumuran dengannya. Mia tidak bisa menebak wanita tersebut karena wanita tersebut membelakanginya dan sama sekali tak mengeluarkan suara. Apakah dia mengenal wanita itu? tapi seingatnya ia tak pernah mempunyai teman―tidak perempuan maupun laki-laki. Pertanyaannya tidak menari-nari terlalu lama di kepalanya karena sesaat kemudian wanita tersebut berbalik.
“Selamat datang, Mia!!” seru wanita misterius tadi yang ternyata adalah Cempaka, teman Viktor yang sering berlatih bela diri setiap minggu di halaman puri Marshall.
Mia benar-benar terkejut dan masih belum mengerti apa yang terjadi. Ia cuma bisa melongo tanpa mengucapkan satu patah katapun.
“Jangan bengong gitu dong! Kayak lihat setan aja!” gerutu Cempaka sambil berjalan mendekat, “Jadi, kamu mau makan malam sama Viktor, iya kan?” tanya Cempaka dengan antusias, “Kamu tenang saja. aku punya segalanya yang akan merubahmu tampil cantik dalam sekejap untuk acara makan malammu tadi!” tandas Cempaka sambil mencengeram bahu Mia erat.
“T-tapi―tapi bagaimana kamu bisa tahu―dan lagi kenapa kita bertemu di sini? ini―ini sangat…”
“Kamu lupa ya! Aku kan Mind Reader―maksudku, aku dan saudaraku, Jarot. Tentu saja aku tahu apa yang kamu dan Viktor pikirkan. Hehehe….”
“Oh yeah. Tentu saja…” desah Mia.
“tenang saja. Aku tahu itu rahasia,” Cempaka mengedipkan sebelah matanya lalu berbalik sambil berputar sehingga roknya berkibar melingkar sangat indah.
“Maksudmu? Apanya yang rahasia?”
“Yang selama ini kamu pikirkan, tentu saja!” seru Cempaka, Ah sudah, lupakan itu. Aku tahu kamu setuju kalau aku mendandanimu untuk acara makan malammu nanti malam bersama Viktor.”
“Yeah aku nggak perlu mengucapkannya lagi. Oya satu hal lagi. Kenapa kamu ada di sini?”
“Oh aku tadi aku sudah tahu kamu akan menanyakannya. Hm, jadi begini, mall ini adalah milik papaku. Sedangkan toko ini punyaku. Aku sengaja minta ruangan yang besar dibalik toko untuk saat-saat seperti ini.”
“Saat-saat seperti ini?”
“Saat-saat ada teman kayak kamu yang ingin aku dandani. Oh sudahlah, sebenarnya sih saat-saat ada pelanggan yang ingin aku jadikan bahan eksperimen. Hehehe.. ah, maaf. Aku nggak bakal gagal kok, aku udah berpengalaman sejak setahun lalu dan akhir-akhir ini pelanggan yang aku dandani secara gratis itu cukup puas.”
“Kamu yakin?”
“Yakin dong. Oh, aku tahu kamu pasti mau bertanya kapan aku membaca pikiranmu itu kan? Jadi begini, dua hari lalu kan aku dan Jarot berlatih bela diri di purimu, saat itu kami iseng membaca pikiran kakakmu, Viktor. Dari situ kami tahu bahwa dia akan mengajakmu makan malam saat ulang tahunnya yang kedelapan belas ini. Lalu tadi waktu aku baru tiba ke mall ini aku melihatmu juga. Kemudian aku mengikuti dan membaca pikiranmu. Rupanya kamu lagi nyari kado buat Viktor dan pucuk dicinta ulam tiba, kamu pun masuk ke tokoku ini. Langsung saja aku suruh Mina untuk membujukmu masuk ke sini,” terang Cempaka kemudian melirik pramuniaga yang masih berdiri di belakang Mia.
“Bukannya kamu nggak bisa baca pikiran orang kalau nggak sama-sama Jarot?”
“memang! tuh orangnya masih di toilet. BAB. Hehehe…” seru Cempaka sambil menunjuk sebuah pintu dinding kanan ruangan, “Jaaar! Buruan keluar! Kamu musti ngaku dosa dosa juga sama Mia nih!”
“Aku tahu Mia sudah memaafkan kita, kok. Bukan begitu, Miaaa?” sahut Jarot dari dalam toilet.
“Yah, sudahlah. Yuk Mia, waktu kita nggak lama,” kata Cempaka sambil menarik tangan Mia menuju lemari pakaian. Begitu dibuka, terpampanglah deretan-deretan gaun dan baju semuanya ditutp dengan plastik bening. Cempaka langsung mengambil sebuah gaun berwarna hijau zamrud lalu di tempelkannya kle badan Mia sambil berkata, “Nah, gaun ini cocok buat kamu! Sebentar, akan kucarikan bolero hitam dan sepatu yang pas,” lalu diserahkannya gaun tadi kepada Mia. Tidak berapa lama kemudian Cempaka menemukan bolero yang diinginkannya. Sebelum Cempaka sempat memilih sepatu, Mina, si pramuniaga mengangkat sepasang sepatu hak tinggi hitam yang sangat feminim, “Pintar kamu!” puji Cempaka. Kemudian semua benda tadi disodorkannya pada Mia untuk langsung dipakai.
Begitu keluar dari fitting room, terlihatlah dengan dengan jelas keindahan busana yang dikenakan Mia. Gaun yang dipakainyapas membalut tubuhnya yang ramping. Gaun hijau model tube top yang memanjang sampai lutut dengan potongan melebar dihiasi renda-renda bunga hitam pada bagian atas dan bawahnya. Bolero hitam sepanjang siku yang dipakai sebagai penghangatpun kelihatan serasi dengan gaun tersebut. Dan sepatu hak tinggi yang dipakainya seolah sudah ditakdirkan untuk dipasangkan dengan gaun hijau zamrud tersebut.
“Cakep banget…”decak Jarot yang baru keluar dari toilet.
“Ohohoho… semua ini berkat bantuanku,” sahut Cempaka bangga, “Ayo ke sini. Aku akan merias wajah dan rambutmu.”
Mia menurut saja duduk di depan salah satu kaca rias. Cempaka kemudian melilitkan sebuah kain lebar yang melindungi gaun Mia terkena noda make-up―seperti di salon kecantikan. Kemudian wajah Mia dibersihkan dari kotoran yang menempel. Baru setelah itu Cempaka bingung akan melakukan apa lagi dengan wajah Mia karena wajahnya sudah terlihat sempurna tanpa sapuan make-up. Cempaka termenung mengamati wajah Mia sambil menopang dagunya dengan slah satu tangannya. Mina si pramuniaga hanya mengangguk angguk di sisinya karena mengerti apa yang dipikirkan majikannya. Akhirnya Jarot yang mengeluarkan suara.
“Ya sudah kalau nggak ada yang bisa diperbaiki lagi. Begitu saja Mia udah kelihatan cantik kok. Kasih lipstik sama bedak yang tipis-tipis aja.”
“Ya sudahlah,” desah Cempaka sambil memoleskan lipstik berwarna pink lembut di atas bibir Mia, “Begini nih, kalau ketemu wajah cantik aku malah bingung karena malah nggak ada yang perlu dirias,” katanya.
“Nah Mia. Sekarang tinggal kita cari kado buat kakakmu,” cetus Cempaka setelah selesai merias wajah Mia. Rambut Mia yang ikal dibiarkan terurai.
“Ha? Aku harus keluar masuk toko dengan memakai pakaian seperti ini?” tanya Mia ragu.
“Oh benar juga. Nanti kamu kelihatan aneh,” sesaat Cempaka berpikir, “Aha! Kamu tinggal bilang aja mau ngasih kado macam apa, ntar biar aku dan arot yang cariin. Mall ini kan lengkap!”
“Aku masih belum tahu mau ngasih apa..”
“Bagaimana kalau sepatu?” cetus Cempaka.
“Aku nggak tahu ukuran dia.”
“Cincin?” usul Jarot asal-asalan.
“Hush! Emangnya mau lamaran? Lagian bukan cewek yang ngasih cincin duluan!” sergah Cempaka, “Jam tangan?”
“Boleh juga,” Mia setuju.
“Baiklah kalau gitu aku sama Jarot cariin dulu, pokoknya sebelum jam tujuh kami pasti sudah kembali!” kemudian Cempaka berbalik sambil menggandeng tangan Jarot.
“Tunggu,” sahut Mia. Cempaka dan Jarot berbalik, “Makasih banyak, ya!”
“Nggak masalah!” seru Cempaka dan Jarot serempak sambil mengedipkan salah satu matanya. Mereka tidak Cuma kembar tap juga mirip!
“Kalau begitu saya melanjutkan pekerjaan saya dulu, Nona,” susul Mina kemudian keluar dari ruangan.
Mia berjalan mendekati dinding kaca di seberang. Dari sana ia dapat melihat pemandangan kota Rightstone yang diselimuti salju. sedikit demi sedikit lampu-lampu mulai menyala, pertanda hari telah beranjak petang. Mia menatap pemandangan sebelah barat, dicarinya sebuah restoran beratap kubah emas yang sedang tertutup salju. Di sanalah Mia dan Viktor akan mengadakan acara makan malam berdua. Sebanarnya tempat itu hanya restoran keluarga yang biasa mereka datangi bersama orang tua mereka sejak kecil tapi beberapa tahun terakhir memang mereka tidak pernah lagi ke sana karena Papa dan Mama jarang pulang.
Mia kembali ke sofa di tengah ruangan. Ia meraih tas sekolahnya yang tadi degetakkannya begitu saja di atas meja. Ia mengaduk-aduk isi tasnya untuk mencari telepon genggamnya. Begitu ditemukan, ternyata sudah ada beberapa SMS yang masuk dan lima panggilan tak terjawab dari Viktor. Mia menyesal tadi telah mengatur Hpnya ke mode diam. Dibukanya SMS satu persatu.
SMS pertama dari Viktor berbunyi : Kamu lagi di mana? Kenapa belum pulang?
SMS kedua dari Viktor juga dan berbunyi sama.
SMS ketiga dari Viktor lagi berisi : Jangan lupa jam ½ 8, resto Family Fun.
SMS terakhir dari Arga berbunyi : Mia, semalam aku mendapat mimpi yang aku rasa jawaban dari cuaca aneh di Rightstone. Tadi pagi aku kesiangan, jadi bolos dan nggak sempet cerita sama kamu. Temui aku di bawah jam menara stasiun Masrandu jam delapan malam.
Sekarang Mia bingung. Jika ia menemui Arga maka ia hanya mempunyai waktu setengah jam bersama Viktor. Walaupun Mia yakin Arga membawa cerita yang penting, ia memutuskan untuk menunda pertemuannya karena ia tidak punya cukup waktu. Mia segera menelepon Arga tapi nomornya tidak aktif. Celaka! Bagaimana cara memberitahu Arga kalau ia tidak bisa datang? Selagi Mia berpikir keras tentang hal itu, Cempaka dan Jarot sudah datang dengan membawa beberapa paper bag dan kantung plastik yang memenuhi kedua lengan mereka masing-masing.
“Apa yang kalian beli?” tanya Mia heran melihat banyaknya belanjaan yang yang dibeli dua orang anak kembar itu.
“Ah, maaf. Tadi kami lihat benda-benda yang lucu. Hehehe..” Cempaka nyengir.
“Aku diperalat Cempaka untuk membawakan barang belanjaannya,” keluh Jarot.
“Shh! Kamu kan sudah aku belikan kemeja! Ingat, siapa disini yang sudah berpenghasilan sendiri, hah?” tandas Cempaka merasa menang. Memang, toko asesoris yang dikelolanya seorang diri itu sudah cukup sukses. Salah Jarot sendiri karena dulu diajak mengelolanya bersama tapi ia tidak mau! Sekarang, Cempaka tidak perlu meminta-minta uang pada kedua orang tuanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Sedangkan Jarot, selalu disindir Papanya karena tidak bisa mengikuti kesuksesan saudaranya di usia muda.
“Iya deh iya!” Jarot menyerah. Dionggokkannya kantung-kantung belanjaan Cempaka di atas lantai begitu saja begitu ia mengambil duduk di sofa seberang Mia. Sekarang ia sibuk mencari-cari di kantung mana kemeja baru yang dibelikan oleh Cempaka tadi.
Dari dalam tas kecilnya, Cempaka mengeluarkan sebuah kotak kecil yang terbungkus kain beludru berwarna biru tua. Diserahkannya pada Mia sambil berkata, “ Bukalah! Menurutmu jam itu bagus apa nggak? Kalau nggak, kamu bisa menggantinya dengan kemeja yang tadi aku belikan untuk Jarot.”
“Eh, nggak! Aku suka kemeja ini!” tolak Jarot tidak setuju sambil mengelus-elus kemeja barunya.
Mia langsung membuka kotak Jam tersebut. Sebuah jam analog berbentuk kotak dengan tali kulit coklat tua. Ia menyukai jam itu, “Makasih banyak, ya. Viktor pasti suka.”
“Kalau begutu ayo kita bergegas. Udah jam tujuh lebih. Jam berapa kalian janjian?”
“Setengah delapan.”
“Semoga aja nggak macet!” Cempaka meraup tangan Mia dan Jarot, dibawanya mereka melesat menuju mobil sedannya yang sudah menunggu di depan pintu utama mall, “Kencangkan sabuk pengaman kalian. Kita meluncuuur!” teriak Cempaka yang langsung tancap gas. Terlambat sedikit memasang seatbeltnya, pasti kepala Mia sudah terantuk kaca depan mobil.
“Aku paling suka saat-saat seperti ini!” teriak Jarot menngimbangi deru mobil Cempaka, “Tambah lagi kecepatannya, Cem!”
“Hei, pelan-pelan aja! aku nggak mau makan malam dengan kaki buntung!” teriak Mia sambil ngeri merasakan mobil yang ditumpanginya menyusup dan berkelok kesana kemari di antara mobil-mobil yang lebih besar.
Tidak sampai sepuluh menit Mia, Cempaka dan Jarot tiba di depan pintu masuk restoran Family Fun yang bergaya timur tengah.
Cempaka agak kecewa sedikit, “Seharusnya tadi aku memilih gaun yang dihiasi emas-emasan biar cocok sama restoran ini,” keluhnya lemah.
“Nggak. Kalau kamu mendandaniku seperti itu, nanti disangka aku pelayan restoran ini!” hibur Mia yang ada benarnya juga karena para pelayan disana mengenakan seragam berwarna merah menyala dengan bordiran benang-benang emas.
“Makasih banget buat semuanya, ya!” ucap Mia sebelum menutup pintu mobil.
“Nggak masalah!” sahut Cempaka dan Jarot berbarengan.

The Guardian part 4

Sudah hampir satu minggu Rightstone diselimuti salju dan selama itu pula para ilmuwan, astronom dan para profesor telah bekerja keras mencari tahu sebab segala sesuatunya walau begitu belum ada jawaban yang diperoleh. Walaupun tidak ada pemberitaannya di luar negeri namun dari mulut ke mulut, tersiarlah kabar tersebut kepada para Isauman yang tinggal di luar negeri. Terutama di Ganmia, tempat ratusan Isauman yang tersisa di dunia menetap, mengadakan pertemuan dan mendiskusikan segala sesuatu.
Ganmia merupakan sebuah kota tua di lembah pegunungan Vos Gas. Letaknya yang lumayan terpencil memungkinkan kerahasiaan keberadaan Isauman yang tinggal disana. Tidak ada kereta yang melewati kota tersebut. Jika ingin berkunjung ke kota tersebut, hanya ada sebuah bus yang hanya seminggu sekali datang dan langsung pergi. Kalau ingin cepat sampai, orang harus menggunakan kendaraan pribadi menuju Ganmia yang bertebing terjal dengan jalannya yang meliuk dan menanjak. Sebagian besar penduduk Ganmia bercocok tanam di ladang-ladang pribadi yang tidak terlalu luas. Lebih daripada itu pekerjaan tersebut hanya merupakan bagian dari penyamaran karena sebenarnya dapat dengan mudah para Isauman memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan memanfaatkan kekuatan mereka.
Malam itu tanggal lima Oktober tepat―satu minggu sejak turunnya salju di Rightstone―para Isauman Ganmia mengadakan pertemuan yang dipimpin oleh seorang wanita tua berambut perak yang digelung rapi di bagian belakang kepalanya. Sebuah kacamata bundar berantai emas melengkapi penampilannya malam itu di tengah-tengah gedung pertemuan yang terletak di ruang bawah tanah sebuah rumah yang sangat luas. Sekitar seratus kepala keluarga hadir dalam acara tersebut. Suasana hening dan suram sepadan dengan keadaan ruang bawah tanah yang remang-remang―meskipun hangat―dan berdekorasi gelap pada dinding dan atapnya. Penerangan yang ada disana hanya lilin-lilin raksasa yang terletak di ke empat sudut ruangan dan di depan meja wanita berambut perak tadi. Ruangan tersebut memang merangkap sebagai bar rahasia para Isauman, sering digunakan untuk pertemuan dan bertukar pikiran karena aman dan selalu buka sepanjang hari. Semua orang yang hadir malam itu berusia di atas empat puluh tahun karena sudah lama keturunan yang mereka lahirkan tidak mewarisi kekuatan orang tua Isaumannya.
Dalam bahasa Talluo kuno―bahasa yang sejak dulu dipergunakan oleh Isauman―wanita berambut perak yang sudah berusia seratus tujuh puluh tahun tersebut menyampaikan pidatonya yang kira-kira dalam bahasa Indonesia begini bunyinya:
“Hadirin Isauman sekalian. Pada kesempatan malam ini aku akan menyampaikan sebuah berita yang menyangkut keadaan kota sahabat kita, Rightstone. Seperti yang sudah kita semua ketahui dari kabar yang beredar dan juga ramalan Mr. Nastumalus Andalusah beberapa waktu lalu serta penglihatan Sir Timothy de Urrilac, kota tersebut kini tengah diselimuti salju. Keadaan tersebut dapat menyulitkan keberadaan Isauman di muka bumi. Jika tidak segera ditangani, lama-kelamaan manusia akan mengetahui keberadaan kita. Kita akan berbuat sesuatu untuk menghentikan salju itu, itu pasti. Keberadaan salju merupakan kuasa Dewi Cuaca―termasuk jika turunnya pada saat dan di tempat yang tidak lazim―. Turunnya salju selain merupakan bagian proses alam juga merupakan sebuah pertanda. Pertanda telah lahirnya Isauman baru yang hebat―sudah lama tidak muncul generasi penerus jenis kita, tadinya aku pikir peradaban kita benar-benar akan punah,” tutur wanita berambut perak tersebut dengan tenang. Langsung saja para hadirin yang tadinya mengira salju adalah pertanda buruk berubah menjadi bahagia dan senang. Kemudian wanita tua tadi melanjutkan pidatonya, “Namun sebelum kalian memutuskan akan mengangkat gelas untuk merayakan hal ini, kalian harus tahu bahwa kita tidak tahu jenis Isauman apa dengan ability macam apa yang muncul ini. Jadi, aku tetap menyuruh kalian berhati-hati. Sementara itu, aku mengundang Tuan Hamka Pradibia, Tuan August Mcfox, dan Nyonya Gabrielle Salvado untuk menyusulku ke ruang kerjaku setelah ini. Demikian kabar yang aku sampaikan. Silahkan melanjutkan kegiatan kalian.”
Sebagian hadirin meninggalkan bar bawah tanah tersebut dengan melewati jalan bawah tanah yang menghubungkan setiap bangunan milik para Isauman. Sebagian lainnya tetap duduk-duduk di atas sofa empuk maupun di kursi tinggi di depan peracik minum. Walaupun wanita berambut perak tadi telah memperingatkan bahwa bisa saja Isauman yang lahir berasal dari kelompok Merah namun mereka tetap bersuka ria merayakan kelahiran generasi baru Isauman yang telah lama tidak terdengar kabarnya sejak empat puluh terakhir. Isauman-isauman muda seperti Mia, Viktor, Cempaka, dan Jarot sebenarnya belum sah disebut Isauman karena belum mempunyai tanda Isauman berupa tato berbentuk kristal salju seperti yang pernah diperlihatkan Arga pada Mia. Tato seperti itu bisa saja berada di bagian manapun dari tubuh seorang Isauman dan bisa saja berbentuk sangat besar atau terlalu kecil, tapi semua Isauman sejati pasti memilikinya jika memang sudah saatnya.
Tato seperti itu hanya terdapat pada Isauman Putih sedangkan lawan mereka, Isauman Merah tidak mempunyai tato apapun sehingga sulit membedakannya dengan manusia biasa. Para Isauman putih biasanya akan takut saat menemukan bayi mereka tidak mempunyai tato kristal salju atau yang biasa mereka sebut Quineer. Padahal Quineer tidak selalu muncul sejak lahir. Kebanyakan Quineer mulai kelihatan ketika anak tersebut beranjak dewasa, seiring dengan itu, kekuatan mereka akan berkembang pesat. Terkadang mempunyai keturunan yang tidak mewarisi kekuatan Isauman tidak menjadi persoalan bagi orang tua Isauman jika dibandingkan kalau mereka melahirkan Isauman Merah. Jika sampai seorang Isauman tidak mendapatkan Quineernya sampai berumur tujuh belas tahun, maka dapat dipastikan bahwa ia terlahir dengan takdirnya sebagai Isauman Merah. Dan pada saat ulang tahun ke tujuh belas itulah salju akan turun sebagai pertanda lahirnya Isauman baru.
“Apa yang dikatakan Zaronda benar. Kita tidak seharusnya terlalu cepat merayakan hal ini karena bisa jadi Isauman baru itu termasuk golongan Merah,” seorang pria berwajah melayu menasehati kawan-kawannya yang tengah menenggak bir di sudut sofa.
“Hei, Gus. Aku punya seorang teman di Belgia,” sahut salah seorang yang sudah setengah mabuk, “Mereka mempunyai anak Isauman yang sampai berumur tujuh belas tahun tidak juga mendapatkan Quineernya tapi kehidupan mereka tetap lancar saja. memang anak itu terlahir sebagai Isauman merah tapi ia tak lantas menjadi orang jahat. Lagipula mana boleh jaman sekarang ini membunuh orang sembarangan? Dunia sudah jauh berubah, manusia biasa lebih mempunyai kuasa daripada kita yang Isauman ini,” papar pria yang wajahnya hampir dipenuhi rambut karena saking lebatnya cambang dan kumis pada wajahnya itu.
“Ya, betul itu. Tidak akan terjadi peperangan lagi seperti jaman nenek moyang kita dulu, Gus. Tenang saja. Belum tentu setiap Isauman Merah berwatak jahat. Lihat saja Vinh Lio, dia Isauman Merah dan dulu jahat tapi sekarang dia sudah bertobat dan menjadi bagian dari kita. Yah―walaupun aku tahu kau tidak terlalu suka pria Vietnam itu,” tambah yang lain sambil sempoyongan menghampiri meja bartender untuk memesan minuman lagi karena botolnya telah kosong.
“Aku memang tidak pernah menyukainya dan itu bukan karena dia Isauman Merah,” tegas pria yang dipanggil Gus itu, kemudian sambil bangkit dari duduknya dia berkata, “Baiklah minumlah sepuas kalian sementara aku akan melatih kekuatan ‘tabir’ku. Dan semoga kalian tidak lupa bahwa MR. Andalusah juga meramalkan sesuatu yang buruk tentang peradaban Isauman.”
Namun tidak ada yang mendengarkan perkataan Gus karena semua kawannya sudah mulai mabuk dan masih saja minum.
(***)
Sia-sia saja Arga mencari informasi yang ia butuhkan melalui perpustakaan dan internet. Tidak ada catatan mengenai Rightstone yang aneh. Semua ditulis dengan wajar dan sangat sedkit informasi yang dipaparkan. Otaknya sekarang buntu memikirkan bagaimana lagi caranya supaya ia mendapatkan penjelasan yang ia inginkan. Akhirnya ia memutuskan untuk berkeliling Rightstone dengan meminjam mobil pick-up milik pamannya yang mempunyai toko mebel kecil-kecilan. Berbekal teropong dan peta wilayah Rightstone, Arga menyusuri jalanan kota tersebut. Tidak banyak bangunan tua yang tersisa kecuali puri Marshall yang terletak di atas bukit kecil dengan perumahan padat penduduk di bawahnya, lalu puri lain yang tidak begitu jauh dari puri Marshall namun berbeda dengan puri Marshall, keadaan puri itu sudah sangat rusak dan runtuh termakan usia, serta beberapa rumah batu yang berdesakan dengan rumah modern lainnya―sebagian di antara rumah batu tersebut sudah tak berpenghuni. Kali ini Rightstone tidak bernuansa merah seperti sebelumnya karena semak-semak mawar telah meranggas, hanya batang-batangnya yang tebal dan kokoh yang tersisa dan siap bersemarak lagi―jika musim salju berakhir.
Arga bernisiatif untuk menanyai penduduk yang tinggal di rumah-rumah batu kuno yang dijumpainya. Pikirnya, rumah-rumah batu tersebut dulunya pasti merupakan tempat tinggal rakyat jelata. Jadi kemungkinan besar mereka akan bersikap ramah dan terbuka terhadap orang asing idbanding golongan bangsawan yang tertutup. Maka Arga menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah batu yang masih terawat dan bercat baru. Ia mengetuk pintu beberapa kali sampai akhirnya terdengar sahutan dari dalam rumah.
“Siapa?” terdengar suara seorang wanita di balik pintu.
“Maaf, saya ada perlu dengan Ibu sebentar,” sahut Arga.
“Kamu siapa?”
“Nama saya Arga. Anda pasti tidak mengenal saya―tapi saya…”
“Saya tidak berbicara dengan orang yang tidak saya kenal,” sahut wanita tersebut dengan lebih nyaring diiringi setelah itu ditutupnya tirai jendela di samping pintu.
“Hhh.. susah juga,” desah Arga sambil kembali ke dalam mobil, “Nggak ada orang yang yang mau beramah tamah dengan orang asing.”
Sebenarnya Arga pernah sekali bertanya pada pamannya tentang kota Rightstone tapi pamannya sendiri bilang tidak tahu. Ia bukan penduduk asli kota itu. ia baru menetap di Rightstone selama sepuluh tahun setelah menikahi istrinya yang sudah lebih dulu tinggal di Rightstone. Namun sayang, bibi tersebut telah meninggal sehingga Arga tidak sempat bertanya-tanya.
Sejak awal kedatangan Arga di Rightstone, tato di lengannya sering berdenyut bahkan denyutnya makin terasa ketika bertemu dengan Mia. Hal tersebut membuatnya ingin selalu berada di dekat Mia. Ia yakin gadis ini pun mempunyai keanehan yang sama dengan dirinya. Arga sangat kecewa karena Mia tidak mau menceritakan rahasianya padahal Arga sudah sangat terbuka padanya. Ia sekarang memutuskan untuk mencari tahu sendiri ada apa dengan Mia, Rightstone, tato di tangannya dan juga mimpi-mimpinya yang selalu menjadi kenyataan.
Malam itu Arga berusaha keras supaya ia mendapatkan mimpi yang diharapkannya. Ia ingin medapatkan jawaban atas pertanyaannya selama ini. Dan malam itu juga ia mendapatkannya.
(***)

The Guardian part 3

Selain terkenal karena rumpun mawar yang terdapat hampir di segala sudut kota, Rightstone juga populer dengan aneka restoran dari mancanegaranya. Mulai dari restoran Jepang, China, India, Arab, Italia, Perancis sampai Belanda semua ada. Hal itu dikarenakan penduduk Rightstone yang beraneka ragam datang dari luar negeri. Kota Rightstone merupakan bagian dari provinsi Jogjakarta yang merupakan daerah Istimewa di Indonesia. Wilayah ini masih mempertahankan sistem pemerintahan monarki dengan seorang raja yang mengepalai provinsi ini. Kebudayaan daerah yang masih dipertahankan selalu menarik minat pengunjung dari dalam maupun luar negeri. Kebanyakan mereka yang merasa senang dan betah dengan daerah ini memilih menetap, terhitung wilayah yang paling banyak dihuni para warga asing maupun keturunan adalah Rightstone. Apalagi provinsi itu telah dikenal sebagai kota pelajar dengan sekolah dan universitas unggulan sehingga banyak pula pelajar dari luar negeri memilih menuntut ilmu di sana.
Restoran yang Viktor dan Mia masuki itu benar-benar kental akan unsur Jepang. Tiap-tiap meja diberi pembatas dinding kertas ala rumah tradisional Jepang. Dindingnya dihiasi lukisan-lukisan alam jepang. Dekat pintu masuk restoran terdapat replika pohon sakura yang kelihatan sangat nyata. Meja makan pun didesain lesehan dengan meja kotatsu lengkap dengan futon yang hanya dipasang saat cuaca dingin seperti sekarang.
“Kok lo bisa kenal sama Paman Bima darimana?” tanya Mia membuka percakapan sambil menunggu pesanan dihidangkan.
Viktor pun dengan jujur menceritakan awal mula perkenalannya dengan Paman Bima dua bulan lalu. Waktu itu Viktor merasa jenuh berlatih ilmu di taman puri. Ia pun memutuskan untuk terbang, mencari-cari tempat lain yang tepat baginya untuk berlatih ilmu tanpa sepengetahuan orang lain. Akhirnya ia menemukan hutan Rossevolt sebagai tempat yang cocok untuknya berlatih ilmu. Selama hampir satu bulan ia berlatih ilmu terbang dan bela diri di tengah hutan Rossevolt tanpa intervensi dari siapapun sampai akhirnya ia kepergok oleh seorang polisi hutan yang tak lain adalah Paman Bima. Sebenarnya tidak seketika aksi Viktor ketahuan oleh Paman Bima. Jauh sejak kemunculan pertama Viktor di hutan itu, Paman Bima sudah mengetahuinya. Ia sengaja tidak menghampiri Viktor. ia menunggu saat yang tepat. Saat itu, Viktor dengan menakjubkan berhasil menguasai ilmu mengendalikan angin sehingga dapat merobohkan sebuah pohon mahoni yang besar. Antara kagum dengan kehebatan Viktor dan jengkel karena ulahnya merusak hutan, Paman Bima pun menghampirinya.
Tentu saja Viktor tidak bisa mengelak atas perbuatannya. Seolah pemandangan Viktor yang mencabut pohon mahoni besar sampai akar-akarnya tanpa sentuhan tangan itu bukan sesuatu hal yang luar biasa dan pantas dikomentari, Paman Bima menghardiknya.
Viktor masih ingat dengan jelas kalimat yang dilontarkan Paman Bima saat itu.
“Kalau semua pemilik kekuatan hebat menghancurkan hutan untuk memperdalam ilmunya, pasti Tuhan telah salah memilih menganugerahkannya kepada manusia-manusia sepertimu. Padahal setahuku Tuhan tak pernah salah.”
Merasa malu, Viktor tidak segera menyahut.
“Kau bukan orang berkekuatan aneh pertama yang aku lihat,” tambah Paman Bima.
Sejak itu Viktor dan Paman Bima berteman dekat. Bahkan orang tua itu merekomendasikan suatu tempat tersembunyi di hutan seluas kurang lebih sepuluh ribu kilometer persegi itu. Dijamin tidak akan ada seorang pun yang akan melintasi tempat itu selain Paman Bima sendiri dan Viktor. Semak Mawar Rahasia, demikian Viktor menamakan tempat itu, terletak di tepi hutan yang berbatasan langsung dengan samudera Hindia. Tebing terjal yang menghubungkan hutan dengan air laut itu membuat kawasan itu jarang dilalui siapapun. Tidak ada yang menarik dari tempat seluas lapangan bola itu. Hanya beberapa batang pohon beringin tumbuh rapat dan tidak beraturan mengelilingi tanah lapang itu. Semak mawar tumbuh liar sepanjang tepi tebing. Rumput gajah memenuhi tanah tempat Viktor biasa melatih kemampuannya sehingga tak menjadikannya coklat membosankan.
“Elo jangan cerita ke siapapun tentang Paman Bima dan tempat rahasia gue. Tanpa terkecuali,” tutur Viktor mengakhiri ceritanya.
“Oke,” jawab Mia singkat sambil menyeruput tehnya yang masih panas.
“Nggak pula ke Papa atau Mama!”
“Iya, ngerti.”
“Sebaiknya juga elo rahasiain tentang kalung baru elo itu.”
“Kenapa?”
“Paman Bima nggak pengen jati diri istrinya diketahui.”
(***)
Sambil menikmati secangkir kopi panas, Mia memandang taman purinya. Terlihat di sana Viktor dan dua teman sebaya pemilik ability atau Isauman sedang berlatih bela diri dengan kakek Erlangga sebagai pelatihnya. Sepertinya mereka tidak peduli dengan udara dingin di luar. Dua teman Isauman Viktor tersebut adalah anak-anak dari pemilik perusahaan penyewaan kapal pesiar terbesar di Indonesia. Jarot dan Cempaka, kekuatan andalan mereka yaitu membaca pikiran orang lain. Kekuatan tersebut hanya bisa digunakan mereka berdua secara bersama-sama. Merekalah yang sering membantu ayahnya memenangkan tender, agak curang memang. Keduanya sekolah di SMA Golden Rightstone. Seminggu sekali mereka berdua datang ke puri Marshall untuk berlatih bela diri dan mengembangkan kekuatan bersama Viktor dan kakek Erlangga.
Kakek Erlangga sendiri merupakan orang bijak yang perkataannya selalu didengar oleh banyak orang, baik dari golongan Isauman maupun manusia biasa. Beliau sendiri merupakan keturunan Isauman yang memiliki kemampuan melihat kejadian-kejadian penting di dunia baik masa lalu walaupun masa depan. Beliaulah yang menyuruh pasangan keluarga Marshall mengadopsi Mia delapan tahun lalu.
Latihan bela diri bagi para isauman memang kadang diperlukan apalagi jika kekuatan yang dimiliki tidak bisa secara langsung melindungi pemiliknya dari kejadian yang dapat melukai atau mengancam nyawa. Secara terpisah-pisah sebagian besar Iasuman si seluruh dunia melatih kekuatan fisik mereka. Kegiatan seperti ini dulunya pada jaman kuno peradapan Isauman memang diwajibkan untuk menghadapi bahaya baik dari Isauman merah maupun bencana yang terjadi. Hanya sedikit jumlah Isauman di Rightstone yang Mia kenal. Papa dan mama, keduanya Isauman namun Mia tak pernah tahu kekuatan apa yang mereka miliki. Selain itu Mia hanya mengenal Isauman seperti Viktor, Cempaka, Jarot, Kakek Erlangga dan almarhum istri Paman Bima, Lusiana.
Mia memang tidak pernah disuruh untuk berlatih bela diri seperti teman-teman pemilik ability lainnya. Semua Isauman tak pernah menghendaki adanya fire starter di dunia ini. Menurut sejarah, para fire starter lah yang menghancurkan peradaban Isauman di bumi berabad-abad lalu. Mia dilarang untuk mengeluarkan kekuatannya. Tentu saja Mia tak pernah diberitahu sebab segala sesuatu itu. Mia sebenarnya ingin mengetahui kenapa ia diperlakukan berbeda dengan Viktor yang diijinkan berlatih bela diri sedangkan Mia tidak namun jawaban yang diberikan papa, mama dan kekek Erlangga tak pernah memuaskannya. Mereka selalu bilang “Tidak Perlu.”
Esok hari makin banyak teman sekelas Mia yang membolos sekolah. Beberapa guru pun meminta libur karena terkena flu. Peraturan di Rightstone memang begitu. Penderita flu dilarang masuk sekolah sebelum sembuh karena selain memperlambat kesembuhan diri sendiri juga virus flu mudah menular ke orang lain. Sepanjang jam pelajaran pertama sampai ke enam tidak ada guru piket yang mengajar karena semuanya terkena flu. Para siswa hanya disuruh untuk mengerjakan tugas pengganti. Tugas yang diberikan tidak terlalu sulit sehingga tidak ada yang mengeluh. Sebaliknya, sisa waktu dapat mereka manfaat sesuka hati karena tidak ada guru yang mengawasi di dalam kelas.
“Salju turun di Rightstone memang aneh tapi lebih aneh lagi karena kota yang berdekatan dengan Rightstone seperti Asamcermai dan Malumpat sama sekali bercuaca cerah dan hangat,” bisik Arga sambil masih menyalin jawaban dari buku panduan. Ditunggunya respon Mia selama beberapa saat namun Mia sepertinya tak hendak mengomentari, maka Arga melanjutkan ceritanya, “Badan meteorologi dan Geofisika nggak bisa menjelaskan, bukankah itu sangat aneh?”
“Tempat lain seperti Bromo juga pernah turun salju. Bahkan gunung Jayawijaya diselimuti salju abadi. Di Bogor pernah turun hujan es.”
“Tapi semua tempat yang kamu sebutkan tadi kan letaknya di dataran tinggi.”
“Jadi, lo pikir gue tahu sebabnya?”
“Setidaknya kan kamu udah lama tinggal di sini, Mia. Dan juga, kamu sadar nggak kalau kota ini sama sekali beda dengan kota-kota lain di Indonesia?”
“Beda apanya? Sama saja kecuali salju yang tiba-tiba turun ini.”
“Nggak cuma itu. Coba deh kamu perhatikan, nama-nama tempat di sini, keadaan alam, bentuk bangunan, semuanya beda dengan tempat lain di Indonesia!” cetus Arga bersungguh-sungguh.
“Menurut gue, kalau masalah nama tempat kan buatan manusia, jadi terserah penghuninya dong mau namain apa tempatnya. Sedangkan keadaan alam, semua sama, pohon-pohon dan tanaman di sini juga bisa kita temukan di kota lain. Bentuk bangunan di sini juga sama aja di kota lain, kalau nggak tembok bersemen, biasanya kayu. Jadi, apanya yang aneh?”
“Mungkin kamu pikir analisisku konyol― tapi begini: misalnya nama kota ini, Rightstone, seperti nama tempat di Eropa, karena namanya berasal dari bahasa Inggris, juga hutan Rossevolt, udah gitu penduduk di kota ini banyak banget yang dari Eropa―meskipun lebih banyak yang dari China dan Jepang sih― lalu gimana dengan tumbuhan mawar yang bisa ditemukan di segala sudut kota? Bukankah itu aneh? Terus..”
“Kalau masalah mawar yang ada dimana-mana, sama aja halnya seperti bunga Raflessia yang juga gampang ditemuin di Bengkulu atau pohon ganja di Aceh,” potong Mia.
“Oke, mungkin benar begitu. Lalu bagaimana dengan beberapa bangunan yang mempunyai perapian di dalam rumah? Bukankah itu aneh untuk bangunan di daerah khatulistiwa? Belum lagi, bentuk bangunan kuno di sini, puri keluargamu misalnya, seperti di Eropa-Eropa, bandingkan dengan bangunan kuno di kota lain di Indonesia, biasanya candi atau pura.”
“Kalau itu menurutku masalah budaya aja. Memang, kebanyakan bangunan kuno di Indonesia itu candi atau keraton, tapi daerah lain seperti di Papua ada patung-patung Totem yang nggak bisa ditemui Jawa atau tempat lain di Indonesia. Jadi mungkin aja kota Rightstone dulu lebih dipengaruhi oleh pendatang dari Eropa. Elo tahu kan negara kita pernah kedatangan, Portugihs, Inggris, Spanyol dan penjajah kita, Belanda?”
“Bangsa Eropa kan baru empat ratus tahun lalu masuk Indonesia dan aku pikir bangunan kuno di Rightstone ini usianya lebih dari empat ratus tahun―paling nggak enam atau delapan ratus tahun begitu. Kamu kan juga tahu kalau Righstone bukan kota pelabuhan.”
“Sudahlah. Gue nggak peduli.”
“Kamu nggak berniat pengen tahu penyebab kejadian aneh di kota ini?” tanya Arga setengah kecewa.
“Satu-satunya kejadian aneh di sini cuma salju. Bisa aja karena pengaruh pemanasan global.”
“Ah, Mia. Kamu terlalu rasional. Kamu nggak bayangin ada kemungkinan di luar akal sehat kita?”
“Maksud lo akal sakit? Elo mau sakit jiwa, sakitlah sendiri, jangan ajak-ajak gue. Ntar kalau elo bener-bener udah sakit jiwa, elo boleh masuk ke rumah sakit bokap gue. Gratis.”
“Hahaha, kamu bisa juga melucu. Maksudku, tidakkah kamu percaya sama hal-hal gaib? Ada kemungkinan juga salju ini disebabkan oleh hal-hal gaib begitu. Gimana?”
“Jangan konyol, nggak ada hal-hal gaib yang―” Mia tidak meneruskan kalimatnya, ia sadar bahwa kekuatannya sendiri merupakan sesuatu yang gaib, nggak bisa dinalar dengan akal sehat.
“Aku percaya, Mia. Percayalah padaku. Aku akan menceritakan satu rahasia padamu tapi sebaiknya nggak di sini. Aku tunggu kamu di perpustakaan,” bisik Arga yakin lalu menutup bukunya, menumpuknya di meja depan bersama tumpukkan buku tugas anak lainnya lalu ia berjalan ke luar kelas.
Arga percaya hal gaib. Ia punya rahasia. Rahasia apa? Apakah sesuatu yang berhubungan dengan hal gaib? Apa dia seorang Isauman seperti Mia dan yang lainnya? Mia belum mengenal Arga dan sepertinya anak ini penuh rasa ingin tahu dan nekat. Tapi bahaya apa yang bakal Mia dapat kalau cuma sekadar mendengarkan Arga bercerita? Siapa tahu dia bisa membantu permasalahan Mia. Permasalahannya dengan ingatan masa kecilnya yang hilang atau dengan kekuatan apinya. Mungkin sebaiknya Mia menyusul. Nomor-nomor terakhir tugasnya tidak benar-benar dikerjakannya dengan teliti, Mia sudah buru-buru ingin menyusul Arga ke perpustakaan. Masih ada waktu satu jam sebelum pergantian jam.
Arga duduk di meja baca di pojok paling belakang dan gelap karena cahaya terhalangi rak-rak buku yang menjulang sampai hampir menyentuh langit-langit. Meja-meja di sudut tersebut jarang ditempati karena hampir tidak ada yang bisa membaca buku di sana saking gelapnya dan lampu-lampu tak pernah dinyalakan. Mia menghampiri meja di samping Arga yang dibatasi dengan papan kayu dengan meja-meja lainnya.
“Kamu siap dengar ceritaku?”
Mia mengangguk walaupun nggak yakin Arga melihat anggukannya.
“Sejak kecil banyak hal-hal aneh yang menimpaku. Kata orang tuaku, waktu berumur satu tahun aku sudah bisa berbicara dengan lancar. Waktu kecil aku pernah jatuh dari lantai dua rumahku dan aku sama sekali nggak terluka. Aku juga sering mendapat mimpi yang menjadi kenyataan, sebagian besar diantaranya sungguh mengerikan. Termasuk pada malam sebelum orang tuaku meninggal, aku bermimpi tentang kecelakaan. Dalam mimpiku itu aku nggak tahu siapa korbannya karena keadaan sangat gelap dan kabur. Aku mendapat jawabannya esok hari ketika seorang polisi datang menjemputku di sekolah dan mengabariku bahwa orangtuaku meninggal. Mobil mereka tertabrak truk pengangkut minyak. Banyak yang meninggal dalam kecelakaan beruntun tersebut, nggak cuma kedua orangtuaku. Aku kadang sering menyesali kenapa aku tidak tahu siapa korban dalam mimpiku tersebut. Selalu begitu, aku mengetahui sesuatu akan terjadi dari mimpi-mimpiku tapi aku nggak pernah tahu akan menimpa siapa. Dan lihat ini,” Arga menggulung sweater lengan panjangnya lalu menunjukkan sebuah tanda di lengannya. Sebuah tato yang cukup besar berwarna kuning keemasan berbentuk kristal salju dengan butiran-butiran hijau pada sisi-sisinya. Mia langsung teringat pada kalung yang dipakainya namun selalu ia masukkan ke dalam bajunya. Ia ragu untuk menunjukkannya pada Arga.
“Tanda ini sudah ada sejak aku lahir tapi baru terlihat jelas setelah aku tiba di Rightstone. Aku tahu ini sesuatu yang gaib dan mungkin saja bisa berbahaya kalau aku sembarangan cerita ke orang lain.”
“Lalu kenapa elo cerita ke gue?”
“Aku merasa ada sesuatu di dalam diri kamu yang membuatku ingin menceritakan semua ini kepadamu. Sejak awal. Sejak awal aku melihatmu aku merasa aku sudah lama mengenalmu.”
“Mungkin cuma perasaan lo aja. Gue sendiri nggak merasa udah lama kenal elo.”
“Ah..” desah Arga kecewa, “Tapi.. adakah sesuatu yang aneh dari diri kamu? Sesuatu yang gaib kayak aku?” desak Arga dengan ekspresi penasaran yang tidak dibuat-buat.
“Nggak ada. Semuanya berjalan normal selama ini,” jawab Mia mantap sambil diam-diam menyilangkan telunjuk dan jari tengahnya. “Mungkin semuanya cuma kebetulan,” tambah Mia.
“Nggak ada yang namanya kebetulan di dunia ini, Mia. Semua sudah diatur sama Yang Di Atas. Aku yakin. Begitu pula dengan pertemuan kita.”
“Udah jam dua belas. Sebaiknya kita kembali ke kelas karena Bu Murti nggak absen seperti guru lainnya,” kata Mia sambil bangkit dari duduknya.
“Kalau ada sesuatu aneh yang menimpamu, tolong kasih tahu aku,” bisik Arga sambil mengikuti Mia berjalan menuju kelas.
“Oke.”
Hari ini Mia nggak memakai mantel. Ia hanya mengenakan sweater sekolah. Jalanan sangat licin karena mobil pembersih salju hanya membersihkan jalan. Sedangkan pembersihan trotoar menjadi kewajiban penghuni bangunan di depan trotoar tersebut, begitulah bunyi Peraturan Sementara Pemerintah Kota. Meskipun menjadi kewajiban namun tak banyak penghuni rumah yang benar-benar mencanangkan peraturan tersebut. Selain karena tidak mempunyai peralatan, banyak penduduk yang terkena flu atau sakit karena pergantian cuaca yang sangat ekstrim ini sehingga tidak ada waktu untuk membersihkan trotoar. Beberapa orang sudah menjadi korban dari trotoar yang licin. Sore itu seperti biasanya Mia berjalan kaki pulang sekolah bersama Arga. Beberapa anak kecil berlarian. Mereka berlomba-lomba menuju taman bermain tak jauh dari tempat Mia dan Arga. Anak-anak itu bermaksud bermain-main dengan salju yang sudah sangat tebal di taman tersebut. Dan tiba-tiba seorang anak kecil terjatuh di depan Mia. Untung pakaiannya sangat tebal sehingga ia tidak terluka.
“Kamu nggak pa-pa, adik kecil?” tanya Mia sambil membangunkan anak kecil tadi.
“Nggak pa-pa. Makasih ya, Kak!” seru anak kecil tadi dengan senyum yang mengembang memamerkan gigi-giginya yang putih. Tidak menunggu lama, anak kecil tersebut kembali berlari seakan jatuh sudah menjadi bagian dari permainannya.
“Jalanan sangat licin. Berhati-hatilah. Anak kecil tadi pakaiannya tebal. Kamu cuma pakai kaos kaki tipis,” ucap Arga.
“Kayaknya mulai besok gue lebih baik ganti memakai sepatu boot. Sepatu yang ini terlalu tipis dan alasnya licin, nggak cocok buat jalan bersalju.”
“Benar. Noni kemarin kakinya terkilir karena terpeleset. Makanya hari ini dia nggak masuk kelas.”
“Sejak turun salju keadaan kota jadi agak kacau. Banyak orang sakit dan semua kegiatan jadi terganggu.”
“Itulah sebabnya, Mia. Aku sangat ingin mengetahui penyebab semua ini!” tandas Arga sambil memandang mata Mia dalam-dalam.
“Ya, cari aja. Nggak ada yang melarang kan?”
Arga tersenyum simpul.
(***)

The Guardian part 2

(***)
“Teman baru?”” tanya Viktor saat tiba makan malam. Papa dan mama nggak ada di rumah malam itu.
“Hah? Apa?” Mia agak kesulitan mencerna pertanyaan Viktor tapi akhirnya ia paham, “Oh, yang tadi? Anak pindahan dari kota Malumpat.”
“Jadi elo udah bisa nguasain pengendalian emosi?”
“Nggak tahu,” jawab Mia sambil menikmati makan malam berupa sup ayam itu, “tapi aura gue waktu tadi nggak keluar kok,” ia agak terkejut juga. Ia sendiri baru sadar bahwa selama berdekatan dengan Arga tadi, nggak sedikitpun aura panasnya keluar. Pembicaraan dengan Arga mengalir begitu saja tanpa Mia harus merasa takut kalau-kalau auranya keluar. Ia sendiri heran.
“Hmm, baguslah. Hati-hati aja.”
“Iya.”
Selesai makan malam Mia langsung masuk ke kamarnya. Kaos lengan panjang yang sedang dikenakannya ia lepas beserta branya. Ia membuka lemari bajunya lalu mengambil tanktop warna coklat tua yang segera dikenakannya. Meskipun udara di luar dingin, Mia sama sekali tak terganggu. Seharian ini teman-teman sekolah juga para guru ramai memperbincangkan masalah salju yang tiba-tiba turun di Rightstone. Beberapa teman sekelasnya juga absen karena terkena flu, yang lainnya melapisi seragam sekolah mereka dengan sweater atau mantel tebal. Semua AC di sekolah dimatikan hari itu. Bangunan-bangunan di Rightstone tidak pernah dilengkapi dengan pemanas ruangan karena musim dingin sebelumnya tidak pernah melanda daerah khatulistiwa tersebut. Di mana-mana sepanjang perjalanan Mia pulang sekolah terlihat orang-orang yang menggigil kedinginan menghadapi situasi yang nggak biasa itu.
Sambil duduk bersila di ranjangnya yang king size itu, Mia mencoba mengeluarkan kekuatan apinya. Ia menengadahkan tangan kanannya sejajar dengan dadanya. Mula-mula api kecil kemerahan keluar lalu makin membesar. Api seukuran kepala orang dewasa itu berkobar-kobar, bagian bawahnya melingkari sebagian lengan Mia.
“Sebenarnya apa tujuannya aku diberi kekuatan seperti ini? Nggak ada yang bisa kulakukan dengan kekuatanku ini. Bahkan kedua orang tua angkatku melarangku mengeluarkan kekuatan ini. Ada apa dengan kekuatanku?”
Saat seperti ini Mia sungguh tersiksa. Sejak tinggal dengan keluarga Marshall, ingatan masa kecilnya hilang seluruhnya. Hal pertama yang ia ingat cuma ketika ia terbangun dari ranjang kamarnya yang masih ia tempati sampai sekarang sejak delapan tahun lalu. Orang tua angkat Mia hanya memberitahunya bahwa ia berasal dari suatu desa yang hangus terbakar. Kedua orang tuanya meninggal dalam kebakaran. Ia satu-satunya keluarga yang tersisa. Hal yang sama juga diamini oleh kakek Erlangga, seorang Isauman tua bijaksana yang tinggal tak jauh dari puri Marshall. Namun, semua keterangan yang dihimpunnya tidak benar-benar memuaskan perasaan ingin tahunya. Mia ingin sekali mengingatnya sendiri, bukan mendengar dari cerita orang lain. Namun ia tak pernah tahu bagaimana caranya.
Meskipun Mia tidak mempunyai ingatan buruk apapun tentang masa kecilnya, ia tumbuh menjadi gadis pendiam dan tertutup. Sepertinya amnesia yang ia derita sepanjang delapan tahun ini tidak mengubah sifat aslinya. Hal tersebut diperparah dengan kondisi keluarga barunya, Papa dan Mama hampir tidak pernah berada di rumah, pekerjaan Papa sebagai Direktur Rumah Sakit Jiwa di kota Asamcermai menuntutnya untuk menghabiskan banyak waktu di kota tetangga tersebut.
Ketika terbangun, Mia udah berada di ranjang yang berbeda. Ranjang itu sempit dan lusuh. Warna asli spreinya sudah memudar. Mia segera mengangkat tubuhnya. Disekelilingnya terdapat sembilan ranjang yang sama. Anak-anak kecil masih tertidur di sana. Namun tiba-tiba mereka serentak bangun. Dengan cepat mereka menghampiri Mia. Tatapan anak-anak kecil itu kosong, justru wajah seram dari sembilan anak itu yang mendominasi penampilan mereka yang seharusnya sangat manis dengan gaun tidur yang berenda-renda itu. Semuanya berebutan mencekik leher Mia. Mia ingin sekali mengeluarkan kekuatan apinya untuk membakar anak-anak yang lebih seperti iblis di mata Mia namun tidak sepercik pun api keluar dari tangannya. Justru ia semakin kesakitan oleh cekikan setan-setan kecil itu.
Mia menjerit-jerit tertahan. Tangannya menggapai-gapai ke atas tapi nggak ada yang dapat ia raih. Tubuhnya menggeliat-geliat seperti ulat kepanasan. Viktor yang mendengar suara jeritan dari kamar yang terletak persis di samping kamarnya itu langsung terbangun dan berlari menghampiri adik angkatnya yang sedang mengigau. ia bangunkan adiknya yang sudah mulai dipenuhi keringat dingin disekujur tubuhnya itu.
“Hei, tenang… tenang, elo nggak papa, kan?” tanya Viktor agak cemas mengetahui adiknya baru bermimpi buruk.
“Nggak,” Mia masih terngiang-ngiang oleh mimpi yang baru dialaminya.
“Ada apa?” Viktor kembali bertanya.
Mia mengangkat tubuhnya, lalu duduk di depan Viktor. Ia nggak menjawab pertanyaan Viktor. Ia hanya menarik rambutnya yang acak-acakan ke belakang.
“Perlu gue panggilin Kakek Erlangga?”
“Nggak usah, “ tolak Mia sambil masih shock dengan mimpinya.
“Kalau gitu gue balik ke kamar, ya?”
“Jangan…” cegah Mia meskipun ragu mengatakannya. Sebenarnya ia takut sendirian tapi ia nggak mau merepotkan Viktor.
“Ya udah, elo tidur lagi. Gue jagain elo disini, oke?”
“Tapi…”
“Nggak ada siapa-siapa di rumah. Mama dan papa belum pulang. Gue yang harus jagain elo,” tandas Viktor.
Mia kembali merebahkan tubuhnya tapi belum mau memejamkan matanya. Viktor yang duduk di sampingnya mengelus-elus rambut Mia. Sebenarnya ia agak malu dan sungkan melakukan itu tapi ia ingin adiknya itu merasa aman. Ditariknya selimut sampai hanya menyisakan kepala Mia karena dirasanya tubuh Mia sangat dingin. Perlahan Mia mulai memejamkan matanya.
Meski yakin Mia nggak akan mengalami mimpi yang sama kali ini, Viktor nggak mau beranjak dari tempatnya untuk meninggalkan adiknya itu. Dari jarak sedekat ini ia bisa mengamati gadis yang sudah delapan tahun tinggal di rumahnya ini. Nggak banyak yang berubah dari Mia. Kulitnya masih sepucat dulu pertama kali ia melihatnya. Rambutnya yang kecoklatan masih tetap dibiarkan panjang seperti sewaktu kecil. Bibirnya yang kemerahan itu mengingatkan Viktor saat pertama kali berjumpa dengan Mia. Waktu itu bibir bawah Mia bengkak dan berdarah. Sampai sekarang ia nggak tahu kenapa dulu Mia bisa sampai babak belur seperti itu padahal usianya baru delapan tahun. Saat seumur segitu seharusnya Mia sedang tertawa-tawa dan bermain dengan teman-temannya. Justru pemampilan lusuh, kusut dan tatapan Mia yang tajam dan murung yang diperlihatkan. Sejak saat itu Viktor berjanji akan melindungi adik barunya itu dan nggak akan membiarkannya terluka seperti saat itu. Tapi entah kenapa ia nggak bisa bersikap hangat di depan Mia. Ia merasa sangat menyesal. Pasti selama ini Mia selalu merasa kesepian padahal Viktor juga tahu Mia sama sekali nggak punya teman.
Saat terbangun esok harinya Mia merasa sangat senang karena Viktor masih disampingnya. Masih dengan mata terbuka duduk di sana. Tidak tampak keletihan ataupun kantuk dalam wajah Viktor. Justru ketika Mia bangun, Viktor menyambutnya dengan segurat senyum manis yang membuat lesung pipinya makin cekung ke dalam, menambah manis wajahnya yang sudah tampan.
“Elo nggak tidur?” tanya Mia nggak enak hati.
“Kan gue jagain elo. Lagian gue nggak ngantuk kok. Buruan mandi! Sarapan udah siap tuh. Gue juga mau balik kamar buat mandi,” sambil berkata begitu, Viktor berlalu.
Mia masih terheran-heran dengan sikap Viktor yang jarang sekali menampakkan perhatiannya tapi ia sadar ia harus segera mandi, maka dengan terpaksa diseretlah kakinya menuju kamar mandi. Ia lega setelah mengetahui bahwa kekuatannya nggak hilang seperti dalam mimpinya semalam. Maka pagi itu Mia masih bisa mandi air hangat walaupun sebenarnya kamar mandi Mia juga mampu menghadirkan keduanya.
Selesai mandi Mia mengenakan sweater putih sepanjang siku, ia pasangkan dengan celana abu-abu panjang. Seakan lupa dengan mimpi buruknya semalam, Mia melangkah riang menuju ruang makan. Disana Viktor sudah mulai memakan sarapan pagi itu, nasi goreng hangat dengan telur mata sapi plus segelas coklat panas, menu yang sama dengan hari kemarin.
“Mama-Papa kapan pulangnya?” tanya Mia sambil meneguk coklat panasnya pelan-pelan.
“Nggak tahu. Paling seminggu baru pulang,” jawab Viktor enteng.
“Ke Asamcermai lagi?”
“Papa yang ke sana. Mama ke Mayakarta, Tante Sofi mau melahirkan.”
“Oh iya, sudah hampir sembilan bulan.”
“Gue mau ke hutan Rossevolt. Mau ikut?” tambah Viktor.
“Hutan lindung itu kan? Ngapain?”
“Ketemu teman lama.”
“Emm, kalau gitu gue ganti baju dulu,” Mia nggak butuh waktu lama untuk menghabiskan coklat panasnya. Ia segera naik ke kamarnya yang terletak di lantai dua itu.
Salju yang menutupi jalanan kota sudah mulai disingkirkan dengan alat yang didatangkan dari pusat kota. Sebenarnya alat tersebut biasa digunakan untuk merubuhkan bangunan namun bisa juga digunakan untuk menyingkirkan salju ke tepi jalan.
Sudah lama Mia nggak pernah keluar puri jadi ia diam-diam amat senang ketika Viktor mengajaknya ke hutan Rossevolt. Sebuah hutan gelap di lembah gunung Rosse, sebelah selatan kota Rightstone. Hutan tersebut merupakan kawasan hutan lindung milik pemerintah dengan seorang kepala polisi hutan yang tinggal di tengah hutan. Sepanjang perjalanan yang memakan waktu satu jam untuk berjalan kaki dari pintu masuk hutan itu banyak dijumpai semak-semak mawar yang sudah meranggas di kanan kiri jalan setapak itu. Pohon-pohon besar yang berusia ratusan tahun yang biasanya mencegah sinar matahari menerobos tanah hutan kali ini turut menggugurkan daunnya menghadapi salju yang mulai menutupi kota Rightstone. Tidak ada hewan liar di hutan tersebut. Babi dan rusa telah lama punah karena perburuan liar yang terjadi beberapa dekade silam. Satu-satunya pohon yang masih menyisakan daunnya hanya pohon cemara.
Sampailah Mia dan Viktor di halaman sebuah rumah mungil berdinding batu di tengah hutan Rossevolt . Uniknya, atapnya berbentuk joglo dengan genteng berwarna kelabu sepadan dengan dinding rumah itu. Yang menarik dari rumah itu adalah kehadiran cerobong asap, pasti sangat membantu untuk urusan cuaca dingin bahkan bersalju yang sekarang menyelimuti Rightstone. Memang sangat jarang dijumpai rumah atau bangunan di Rightstone yang mempunyai perapian di dalam rumah karena memang kota tersebut bukan kota yang seharusnya beriklim subtropis maupun dingin. Walau begitu beberapa bangunan tua seperti puri Marshall juga memiliki cerobong asap yang sesekali dinyalakan saat cuaca dingin dan selalu dinyalakan sepanjang musim salju yang tengah melanda kota itu.
Baru saja Mia dan Viktor hendak menginjakkan kaki di teras rumah, pintu utama terbuka seolah si Tuan Rumah sudah mengetahui kedatangan para tamunya. Keluarlah sosok lelaki lanjut usia yang mengenakan sarung dan kaos oblong seakan tidak peduli dengan cuaca dingin yang melanda Rightstone.
“Paman Bima,” sapa Viktor.
“Mari masuk, di luar sangat dingin,” seru Paman Bima setelah mengetahui siapa yang datang.
Memasuki ruang tamu, udara jadi lebih hangat karena perapian dinyalakan. Sebenarnya Mia heran, untuk apa dibangun perapian di negara tropis. Sekarang memang berguna untuk menghadapi musim salju tapi dulu? Sebelumnya tidak pernah ada salju turun di kota Rightstone. Selanjutnya ia takjub karena di atas meja sudah tersedia dua cangkir kopi panas, siapa lagi kalau bukan buat Mia dan Viktor. Hampir semua perabot dalam ruang itu terbuat dari kayu. Mulai dari kursi, meja tempat menaruh minuman mereka itu, lemari dan rak-rak berisi kotak-kotak dan botol yang entah apa isinya sampai lukisan-lukisan alam, cidera mata dan hiasan dinding semua terbuat dari kayu. Di atas lantai tempat mereka berdiri, terhampar karpet besar yang sangat tebal dan hangat. Seandainya tidak ada kursi, Mia dengan senang hati akan mau menduduki karpet tersebut. Dinding ruang tersebut dipenuhi dengan aneka lukisan alam dan foto-foto Paman Bima sewaktu muda, ada pula piagam Kalpataru serta sertifikat penghargaan lainnya. Mia kagum pada sosok paman yang berjenggot putih tersebut.
Tanpa komando, mereka serempak duduk.
“Sekarang katakan, apa tujuan kalian datang kesini?” tanya Paman Bima sambil meraih salah satu botol dari rak yang berada di samping tempat ia duduk. Ia membukanya lalu meminum isinya. Mia menduga pasti isinya arak atau semacamnya, “Tunggu, aku tahu. Inikah Mia, gadis api itu?”
“Ya, Paman,” jawab Viktor.
“Aku sudah lama menunggu untuk bertemu denganmu, Mia.”
“Paman tahu siapa aku?”
“Tidak. Tidak juga. Hanya saja ada sesuatu penting yang harus kusampaikan padamu. Tunggu sebentar,” sambil berkata begitu, Paman Bima bergerak masuk ruang tengah. Ia kembali dengan sebuah kotak kecil dari kayu. Kemudian ia mengeluarkan isinya lalu menyerahkannya pada Mia, “Terimalah ini, Mia.”
“Kalung?” tanya Mia heran. Kalung itu terbuat dari emas kuning dengan sebuah bandul berbentuk kristal salju berwarna senada dengan kalungnya. Permata hijau yang ditanam di seluruh sisi bandul itu berkilauan. Mia tak percaya bagaimana bisa orang yang baru ia kenal ini menghadiahinya sebuah kalung yang sangat mahal ini.
“Sebelum wafat, istriku menyuruhku memberikan kalung ini pada siapapun pemilik kekuatan api yang kutemui. Aku telah menunggu lama untuk bertemu dengan pemilik kekuatan api lain selain istriku. Aku kira aku tak akan pernah menemuinya sampai aku mati tapi dua bulan lalu aku bertemu Viktor. Ia bilang bahwa ia punya adik yang bisa mengeluarkan api dari dalam tubuhnya. Aku sangat senang akhirnya bisa melaksanakan wasiat terakhir dari istriku.”
“Tadi Paman bilang istri paman juga pemilik kekuatan api?”
“Ya. Benar. Tapi hampir sepanjang hidupnya Luisana tak pernah mengeluarkan kekuatannya.”
“Kenapa, Paman? Kenapa ia nggak menggunakan kekuatannya?” Mia makin penasaran.
“Entahlah, anakku. Dia tidak pernah menyebutkan alasan mengapa ia begitu. Mungkin memang sebaiknya ada hal-hal tetap terjaga sebagai misteri di dunia ini,” Paman Bima meneguk kembali minumannya.
Mia memakai kalung pemberian Paman tua itu. Cocok sekali menghiasi lehernya.
“Nah, Paman. Sebaiknya kami pamit pulang dulu,” Viktor mengundurkan diri.
“Ya. Paman juga harus berangkat kerja. Sering-seringlah kemari.”
Jarak Puri Marshall dengan kawasan hutan Rossevolt memang sangat jauh. Tak heran kalau sampai tengah hari mereka belum sampai rumah. Sampai-sampai perut Mia keroncongan ingin makan siang. Viktor yang mendengar bunyi perut Mia segera menepikan mobilnya ke sebuah restoran jepang di pinggir jalan yang mereka lalui.
“Makan dulu, baru kita lanjutin perjalanan.”
Mia memesan semangkuk ramen spesial sedangkan Viktor memilih sashimi sebagai menu makan siangnya. Untuk minuman, keduanya kompak memesan teh hijau.

The Guardian part 1

The Guardians

Bulan-bulan panas sudah berlalu sejak dua minggu lalu. Hujan turun hampir tiap hari tetapi kehangatan selalu terasa di sebuah kamar berukuran sedang dalam Puri Marshall. Kamar itu sudah delapan tahun dihuni oleh seorang gadis yang diadopsi oleh pasangan suami istri Marshall. Gadis spesial yang menyebabkan kamar pribadinya selalu hangat. Ia biasa dipanggil Mia.
Baru setelah alarm HPnya berdering untuk ketiga kalinya, ia terbangun, meregangkan badan lalu menguap lebar. Diraihnya HP yang masih berdering itu, dimatikannya alarm lalu dilihatnya jam menunjukkan pukul setengah enam pagi. HP ditaruh lagi di meja kecil samping ranjangnya. Mia berdiri lalu segera masuk kamar mandi. Sambil menunggu bathup penuh, Mia melepas pakaiannya satu-persatu. Kemudian ia menyingkap sedikit tirai jendela kamar mandinya, dari atas kamarnya ia mengintip pemandangan di luar. Astaga! Salju! Kristal putih itu perlahan tapi pasti mulai bertaburan dari angkasa. Tunggu, sejak kapan salju bisa turun di negara tropis? Pantas saja pohon-pohon di seluruh kota Rightstone meranggas dan bunga-bunga layu, ternyata mereka sedang menyiapkan diri untuk menghadapi salju. Tapi ini nggak normal. Apapun itu, Mia harus menyelesaikan mandinya terlebih dahulu. Mia segera menutup kembali tirai lalu mengarahkan tangannya ke bathup, sedikit berkonsentrasi dan Voila! Air bath up yang tadinya dingin sedingin udara di luar menjadi hangat luar biasa.
Selepas mandi, Mia mengenakan seragam sekolahnya, SMA Upon Rightstone, sekolah paling tersohor di seantero kota Rightstone. Seragam SMA Upon Rightstone menjadi favorit anak-anak remaja karena desainnya yang mewah dan elegan. Mia terlihat cantik mengenakan seragamnya yang terdiri dari kemeja putih lengan panjang, jas merah hati panjang dengan kancing yang berdetail bunga mawar warna emas, dasi yang senada dengan warna jasnya, serta rok lipit merah hati lima belas sentimeter di atas lutut. Mia memadukan seragamnya dengan sepatu fantovel warna hitam, lalu kaos kaki hitam yang memanjang sampai sepuluh sentimeter di atas lutut, terakhir, raincoat tebal berwarna merah hati dengan kancing berdetail kristal salju berwarna perak, khusus untuk musim penghujan, resmi dari SMA Upon Rightstone. Itulah gaya berseragam semua siswi SMA Upon Rightstone. Sebelum meninggalkan kamarnya, Mia meredakan hawa hangat di kamarnya dengan mengarahkan tangannya ke titik-titik di sudut ruang kamarnya, hawa hangat yang sejak tadi malam ia pancarkan ke seluruh kamarnya itu segera merasuk ke dalam tubuhnya melalui telapak tangannya.
“Ah, Sayang, kemarilah!” sapa mama pagi itu diliputi kecemasan yang sama dengan yang Mia khawatirkan.
Mia segera bergabung di depan meja makan. Ia yakin papa dan Viktor juga mencemaskan hal yang sama namun keduanya menunjukkan pembawaan yang tenang seperti biasanya.
“Sayang, kamu sudah tahu di luar turun salju?”
“Iya, Ma. Tadi Mia lihat dari jendela.”
“Kira-kira kamu tahu nggak kenapa bisa cuaca kota kita seperti ini?”
“Nggak, Ma. Emang kenapa, Ma? Rightstone kok bisa jadi bersalju begini?”
“Ah, Sayang. Ceritanya panjang. Mama sekarang cuma bisa berpesan pada kalian berdua untuk lebih waspada terhadap bahaya yang mungkin tengah mengancam. Mama yakin ini perbuatan Isauman merah.”
“Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan,” sela Papa.
“Isauman merah? Kenapa mereka berani bikin ulah lagi, Ma?” Viktor kesal.
“Tunggu. Saya nggak ngerti. Siapa itu Isauman merah?” potong Mia.
“Isauman itu orang-orang seperti kita, Sayang. Orang yang mempunyai ability. Isauman merah adalah sebutan untuk mereka yang menggunakan kekuatannya untuk kejahatan,” terang Mama.
“Sejak kehancuran peradaban Isauman di bumi, mereka tidak pernah muncul kembali. Mereka masih ada tapi tidak berani berulah. Kalau memang benar ini perbuatan mereka, pasti ada hal lain yang mempelopori mereka untuk berani membuat kekacauan di bumi kembali,” tandas Papa.
“Apakah mereka berbahaya, Pa?” tanya Mia cemas.
“Tidak. Tidak juga, tergantung kekuatan yang mereka miliki. Yang membahayakan adalah tentang pengetahuan manusia akan keberadaan manusia seperti kita ini. Sejak lama kita menutup rapat-rapat akan jati diri Isauman, jangan sampai para Isauman Merah membuat semuanya berantakan.”
Tiba-tiba suasana hening. Semuanya telah kehabisan kata-kata. Masing-masing sibuk dengan lamunan mereka sendiri sampai nasi goreng pagi itu mulai dingin.
“Mia, bagaimana perkembangan pengendalian emosimu?” tanya Mama memecah keheningan yang terjadi beberapa menit lalu.
“Mmm.. saya masih nggak tahu. Saya masih berusaha nggak terlalu dekat dengan banyak orang supaya emosi saya tetap stabil.”
“Kamu nggak banyak menggunakan kekuatanmu itu kan?” selidik Mama, diam-diam Papa ikut menyimak dengan antusias.
“Cuma saat saya merasa udara terlalu dingin dan air di kamar mandi kurang hangat, Ma.”
Baru setelah sekitar dua puluh detik Mama baru menanggapi, “Hmm. Baiklah. Sudah jam setengah tujuh, sebaiknya kalian mulai sarapan kalau tidak mau terlambat ke sekolah!”
Begitu membuka pintu rumah, salju sudah hampir menutupi seluruh pelataran. Dengan berhati-hati Mia dan Viktor melangkah karena jalanan licin akibat salju. Perjalanan menuju sekolah cukup mereka tempuh dengan jalan kaki karena letaknya yang tak terlalu jauh. Walaupun berangkat sekolah bersama-sama, Mia dan Viktor nggak pernah berjalan berdampingan, biasanya Mia akan berjalan sepuluh meter di belakang Viktor. Nggak ada yang keberatan. Baru aja sampai depan pintu gerbang sekolah, Viktor langsung disambut oleh Lara, cewek yang disebut-sebut sebagai pacarnya Viktor. Mia menghentikan langkahnya, mengamati tingkah laku Lara yang bergelayut manja di lengan Viktor, Viktor nggak menyambut, juga nggak menolak. Mereka berjalan bersama masuk ke area sekolah. Pemandangan serupa yang setiap hari disaksikannya itu selalu membuat hati Mia panas. Mia yang udah delapan tahun hidup sebagai adik angkat Viktor nggak pernah berlaku manja ataupun dimanjakan seperti itu. Mia selalu sungkan untuk mendekati Viktor yang sedingin dan sekeras gunung es.
Pernah sekali waktu keluarga Marshall bertamasya ke gunung Tangkuban Perahu, tepatnya enam tahun lalu. Selain menikmati pemandangan kawah gunung, Mia dan Viktor juga mengunjungi area outbound di daerah kebun teh, sedangkan kedua orang tua mereka memilih untuk berendam di kolam air panas di rumah penginapan. Dari mulai jaring tambang yang tinggi, flying fox, meniti seutas tali sampai bersepeda menyusuri kebun teh yang terjal dilakoni Mia dan Viktor. Nggak ada yang meragukan lagi akan rasa haus mereka terhadap tantangan. Mia dan Vitor bersepeda sendir-sendiri menyusuri jalanan sempit dan berbatu sepanjang kebun the. Karena menghindari seekor kura-kura yang melintas, Mia jatuh terjerembab dari atas sepedanya. Badannya luka-luka tergores dan terantuk bebatuan, Mia jatuh pingsan. Ketika sadar, Mia sudah berada di kamar penginapan dengan beberapa balutan di tubuh dan kepalanya. Mama bilang, Viktor yang membawanya pulang ke penginapan dengan menerbangkannya, padahal waktu itu Viktor belum cukup dewasa untuk membawa beban berat, alhasil Viktor juga jatuh sakit karena tenaganya terkuras habis. Sejak itu Mia yakin bahwa Viktor sebenarnya baik dan penuh perhatian, tapi mungkin karena sesuatu hal, Viktor lebih sering acuh tak acuh dan bersikap dingin pada semua orang.
Viktor masih beruntung, gejolak emosi tidak mempengaruhi kekuatannya. Kekuatan terbang memang lebih mudah dikendalikan. Viktor tidak harus menutup diri dari pergaulan. Ia mempunyai banyak teman di sekolah. Viktor juga ikut klub basket di sekolah, lain dengan Mia yang lebih memilih mengucilkan diri. Ia terlalu takut bergaul dengan orang lain selain di lingkungan puri. Meskipun sudah delapan tahun belajar teknik pengendalian emosi, Mia masih merasa sungkan untuk bersosialisasi. Bahagia sedikit bisa membuat aura panasnya keluar, apalagi marah, cahaya merahnya akan langsung memancar kuat.
Di kelas pun Mia duduk seorang diri di bangku paling belakang. Ia hanya mengeluarkan suara jika ditanya dan selalu diam kalau nggak ada sesuatu yang ingin ia sampaikan pada orang lain. Sejak kecil selalu seperti itu.
Teman-teman sekelas Mia di SMA Upon Rightstone maklum dengan tingkah laku Mia karena memang sejak dulu keluarga Marshall berbeda. Keluarga yang tinggal di puri tua yang berdiri kokoh sejak ratusan tahun lalu itu memang selalu menutup diri sejak dulu. Hanya keluar puri seperlunya. Konon mereka adalah keturunan bangsawan yang dulu memimpin kerajaan Rosseda puluhan abad lalu sebelum wilayah itu akhirnya berubah nama menjadi kota Rightstone. Cerita tersebut turun dari nenek moyang penduduk asli kota Rightstone. Satu hal yang tidak pernah berubah, mereka selalu kaya dan khas.
Mia masih berkutat dengan novelnya ketika Pak Guru tiba di kelas 10-3 diikuti seorang anak asing yang baru dilihat teman-teman di sekolahnya. Para siswi langsung heboh begitu tahu bahwa teman baru yang yang sedang berdiri di depan kelas tersebut sangat tampan. Mia sedikit terganggu dengan kehebohan itu. ia mendongak untuk mencari tahu apa yang terjadi. Matanya terjatuh pada sosok cowok berkulit pucat di ujung kelas tersebut. Yang mengagetkannya justru cowok tersebut juga sedang memandangnya. Tatapannya tajam tapi kelihatan bersahabat. Detik berikutnya cowok itu tersenyum ke arah Mia. Terkejut, Mia kembali menunduk membaca novel yang baru dibelinya kemarin.
“Nama saya Arga. Saya baru pindah dari kota Malumpat. Senang berkenalan dengan teman-teman semua. Mohon bantuannya!”
“Arga, Arga! Udah punya pacar belum?” sahut seorang siswi yang duduk di deretan depan kelas. Cewek yang mengikat rambut pirang panjangnya menjadi dua bagian itu sangat bersemangat kedatangan murid cowok baru, sampai-sampai ia merasa harus berdiri selagi menyampaikan pertanyaannya. Sepertinya semua siswi satu kelaspun mendukung tindakannya. Mereka juga ingin tahu status Arga.
“Hei, pertanyaan macam apa itu, Noni! Sudah, sudah,” timpal Pak guru, “Nah Arga, silahkan duduk di bangku kosong belakang itu.”
“Terimakasih, Pak.”
Waktu Pak guru menyebut bangku kosong belakang, Mia langsung merasa was-was. Satu-satunya bangku yang tersisa di kelas itu adalah bangku di sebelahnya. Mia bertekad akan diam aja kalau nanti teman barunya itu bertanya-tanya. Ia nggak mau ambil resiko.
“Hai, nama kamu siapa?” tanya Arga pada teman sebangkunya begitu ia menjatuhkan pantatnya pada kursi barunya.
Seakan lupa dengan tekadnya barusan, Mia menjawab pertanyaan teman barunya itu, “Mia,” jawabnya tanpa menoleh. Sebelum Arga berhasil melanjutkan pertanyaannya, Mia sudah sibuk mengeluarkan buku dan alat tulisnya.
“Bego, bego. Kan gue udah niat mau diam aja!” umpat Mia dalam hati menyesali perbuatannya.
Setelah Mia siap dengan bukunya, Arga kembali mengajaknya berbicara, “Aku agak gugup sama hari pertamaku, hehe. Mohon bantuannya, ya?”
Mia mengangguk.
Selesai pelajaran jam keempat para siswa keluar kelas untuk makan di kantin sekolah.
“Arga, ke kantin sama kita-kita, yuk?” Ajak Noni, cewek yang tadi menanyakan status Arga.
“Iya, ntar aku nyusul kalian. Kalian duluan aja, ya?” jawab Arga ramah diakhiri dengan senyum manisnya.
“Oke, beneran ya! Oya, nama gue Noni,” Noni mengulurkan tangannya.
Arga menyambut uluran tangan Noni, “Oke, Noni.”
“gue Risma!” susul cewek di belakang Noni.
“Gue Helda,” cewek berkacamata di samping Noni pun nggak mau ketinggalan untuk berkenalan dengan teman barunya yang tampan itu.
“Bian, B-I-A-N.”
Mia menahan tawa waktu mendengar Bian mengeja namanya. Menurutnya aneh, kenapa harus dieja segala? Untung nggak ada yang tahu kalau Mia tertawa kecil. Mia masih pura-pura sibuk dengan novelnya.
“Dadah, Arga!”
Begitu kelas sudah kosong, Arga mengajak Mia ke kantin bareng.
“Lurus aja dari kelas trus belok kiri. Kantinnya disana. Gue nggak kesana.”
“Lho, kenapa nggak? Kamu nggak lapar?”
“Gue bawa bekal dari rumah,” jawab Mia sambil masih sibuk dengan novelnya.
“Aku nggak begitu lapar sih. Mungkin ntar aku bisa minta dikit bekalmu. Nggak pa-pa, kan?” tanya Arga sambil kembali duduk di bangkunya, “Um, baca apaan sih? Kayaknya seru banget?” tanya Arga sambil mencoba melihat cover novel yang sedang dibaca Mia, “Oh, The Dark Earth. Ceritanya bagus tuh, aku pernah baca tapi… okey, aku nggak mau nyeritain endingnya, ntar nggak seru lagi kalau kamu aku kasih tahu.”
Mia menghentikan aktivitas membacanya lalu mengeluarkan kotak makanannya. Dua potong sandwich yang diracik bibi Arda ia bagi dengan teman barunya itu.
“Hmm.. enak banget. Siapa yang bikin nih?”
“Juru masak di rumah.”
“Waw, kamu punya juru masak di rumah? Kamu pasti kaya banget ya, hahaha.”
Mia nggak menanggapi selorohan Arga.
“Kok diem? Jangan-jangan kamu risih ya ngobrol sama aku?”
“Nggak!” sahut Mia buru-buru. “Bukan begitu. Maaf, gue.. gue cuma nggak biasa ngobrol sama orang yang baru gue kenal.”
“Kalau gitu mulai sekarang kamu harus membiasakan diri ya. Soalnya aku agak cerewet orangnya. Hehehe.”
“Mm, iya,” jawab Mia kikuk.
“Jadi, kamu penduduk asli Rightstone, bukan?”
“Bukan.”
“Terus?”
“Gue dari kota lain.”
“Kota apa?”
“Mm. Gue udah lupa,” jawab Mia karena ia memang sudah lupa, “Udah lama gue tinggal disini.”
“Nggak pa-pa. Ohya rumah kamu dimana?”
Mia nggak segera menjawab. Kalau ia menyebutnya tempat tinggalnya pasti Arga bakal tanya lebih banyak lagi karena… siapa sih yang nggak kenal dan pengen tahu lebih banyak tentang keluarga dan puri Marshall? Tapi akhirnya ia jujur juga karena ia nggak punya alasan untuk berbohong.
“Oooh, puri Marshall yang terkenal itu ya? Jadi kamu ini keturunan bangsawan kaya itu, ya? Wah beruntung banget aku bisa punya temen ningrat. Hehehe.”
“Bukan, bukan,” ralat Mia agak kepayahan, “Gue cuma anak angkat kok. Gue nggak punya orang tua kandung.”
“wah..Sama. Aku juga udah nggak punya orang tua kandung,” seru Arga mendapati mereka senasib, “Sebulan yang lalu mereka tewas kecelakaan. Minggu lalu Oomku ngajak aku tinggal bareng keluarganya disini.”
“Oh, gue turut berduka atas yang menimpa kedua orang tua elo.”
“Makasih. Eh, ntar pulangnya bareng yuk? Rumah Oomku searah sama purimu.”
“Hah?” Mia agak terkejut. Ia nggak pengen deket-deket dengan orang lain termasuk cowok ini tapi Arga ini malah bersikap sangat akrab padanya.
“Kenapa?” tanya Arga heran, “Ah, jangan-jangan kamu pakai mobil, ya? Maaf, maaf, aku lupa kalau kamu orang kaya. Aku jalan kaki sih soalnya. Hehehe.”
“Bukan. Gue cuma.. cuma..” Mia nggak meneruskan kalimatnya, “Gue juga jalan kaki kok. Ya, mari pulang.. bareng,” jawab Mia kikuk.
“Sip!”

Thursday, March 11, 2010

Gangster's Diary

Sekarang aku sudah berumur delapan belas tahun. Secara hukum, aku sudah boleh mengatur hidupku sendiri. Namun bukan itu yang aku impikan sejak dulu. Menurut peraturan di keluarga kami, ketika seseorang sudah berumur delapan belas tahun maka itulah saatnya dia melakukan pekerjaan yang selama ini menjadi usaha keluarga kami. Pekerjaan yang tidak semua orang mau, apalagi seorang wanita. Pekerjaan yang bahkan dilarang dan dibenci oleh masyarakat. Pekerjaan yang selama ini hanya menjadi bayang-bayang dalam pikiran akal sehat manusia(“Apa benar ada pekerjaan seperti itu?”). Pekerjaan yang hanya dapat orang temui di cerita-cerita novel detektif atau film-film action. Pekerjaan yang selalu aku impikan.
Bagi sebagian orang, membunuh adalah perbuatan keji yang dikutuk oleh semua umat namun pekerjaan inilah yang digerakkan oleh ayahku. Sejak aku mulai bisa mengingat sesuatu, aku selalu tertarik dan diam-diam mempelajari teknik-teknik bela diri yang diajarkan ayah pada para anak buahnya. Ayah memang kemudian membekaliku dengan ilmu bela diri dan membaca situasi namun beliau tidak pernah mengijinkanku melakukan pekerjaan utama kelompok yang dikuasai ayah. Orang-orang biasa menjuluki kami mafia. Sejak berumur empat belas tahun aku sudah diajak memata-matai target operasi namun aku hanya bisa menyaksikan para eksekutor menyiksa bahkan membunuh korbannya.
Ayah tidak sembarangan menerima permintaan pembunuhan tanpa diberitahu sebab-sebab dan latar belakang korbannya. Kami biasanya membunuh para orang-orang jahat meskipun aku akui perbuatan kami pun sesungguhnya merupakan suatu kejahatan. Meskipun pekerjaan membunuh merupakan pekerjaan utama kami dan mendapat bayaran tertinggi, namun jumlah korban kami tak sampai sepuluh orang tiap tahunnya. Ayah lebih memilih menyiksa para target untuk mau buka mulut atau tutup mulut sesuai perintah klien.
Aku tahu bayaran dari pekerjaan papa dan anak-anak buahnya pasti sangat tinggi, ditambah dengan bisnis ilegal yang ayah geluti sejak beberapa tahun terakhir yaitu membuka rumah hiburan dan menyediakan para pelacur serta menyewakan anak buah untuk menjadi bodyguard. Seakan tak mau menunjukkan kekayaannya, ayah tak membangun mewah-mewah rumah tempat tinggal kami yang masih kalah dengan gedung diskotik milik ayah yang dua kali lebih luas daripada rumah kami. meskipun rumah kami terlihat kecil dan tak menyolok namun keamanan dalam rumah sangat ketat. Tidak ada satpam karena memang rumah kami tak berpagar namun sebenarnya di dalam suatu ruang tersembunyi di bawah tanah, pengawasan selama 24 jam penuh tak pernah lepas. meskipun kelihatannya pintu dan jendela kami terlihat biasa, namun Nano, anak buah papa yang sangat ahli di bidang teknologi, memanipulasinya dengan lapisan tipis yang sangat ampuh melindungi isi rumah dari benturan, lemparan batu maupun peluru senjata api. Ayah selalu merahasiakan letak rumah kami kepada siapapun. Hanya kami sendiri, aku, ayah dan ibu serta anak-anak buah ayah dan para perempuan pelacur di diskotik ayah yang akrab dengan kami. akses ke rumah kami dilakukan melalui lorng bawah tanah yang menghubungkan diskotik tempat usaha ayah serta tempat tinggal para anak buahnya dengan rumah kami. rumah kami berbelakangan dengan gedung diskotik dan rumah tinggal karyawan papa tersebut.
Tidak ada hal lain yang lebih aku inginkan daripada membunuh target yang disodorkan klien papa. Hari itu tepat pada ulang tahunku yang kedelapan belas, setelah paginya kami rayakan dengan kue ulang tahun kecil, siangnya papa menemui seorang klien di ruang kerjanya di lantai dua gedung diskotiknya. Suasana masih sepi karena para pelacur dan karyawan yang tinggal disana masih belum terbangun dari tidurnya setelah bekerja semalam suntuk. Ayah tidak pernah mengijinkanku beertatap muka dengan para kliennya, katanya berbahaya. Larangan yang sama juga ditujukan pada ibuku. Maka siang itu aku mengintip dari langit-langit ruang kerja ayah setelah susah payah mengendap-endap dan berhati-hati agar tak menimpa langit-langit yang pasti tak akan mampu menahan berat tubuhku. Well, sebenarnya aku tidak terlalu bersusah payah karena aku sudah terbiasa melakukan adegan berbahaya dan mendebarkan seperti ini. Mustahil aku mencoba menguping percakapan mereka dengan menempelkan kupingku lekat-lekat di pintu masuk karena selalu ada dua penjaga yang berdiri di depannya. Ayah selalu memerintahkan mereka untuk menjauhkan siapapun dari puntu itu ketika sedang ada klien.
Melalui celah lubang udara, aku mengintip siapa saja yang berada di ruangan itu selain ayahku. Seperti biasa Fandi dan Garna, dua orang kepercayaan ayah, mendampingi ayah di sana, yang mereka lakukan hanya berdiri mematung di samping kiri kanan sofa ayah. Empat orang asing lain pasti seorang klien dengan para pengawalnya. Pria yang tidak diragukan lagi adalah orang yang berkepentingan itu berpenampilan necis dengan setelan jas biru tua serta sepatu fantovel lancip yang mengkilap. Rambutnya yang mulai beruban disisir rapi dengan belahan samping dan selalu kelihatan licin, kutu pun pasti terpeleset kalau berjalan di atas rambutnya. Badan lelaki tua itu sangat tambun, wajahnya kemerahan dan kacamata bulatnya mengingatkanku pada sosok Sinterklas. Seorang lainnya duduk berdampingan di sisi bos besar itu dan dua lainnya berdiri berjajar dengan Fandi dan Garna.
“Saya ingin nyawa orang ini dihabisi,” ucap klien gemuk ayah itu dengan geram setelah menyodorkan selembar foto yang lalu dilihat sekilas oleh ayah.
“Tunggu dulu, saya tidak bisa serta-merta memenuhi permintaan Anda. Anda tahu prosedurnya kan?” jawab ayahku masih dengan pembawaannya yang tenang.
“Anak ini telah menodai putriku satu-satunya. Pria ingusan ini memperkosa anak kesayanganku. aku tidak terbiasa berbuat jahat namun kali ini kulanggar semua prinsipku karena aku tak mau membiarkan orang yang telah menyakiti anakku hidup dengan tenang!” tutur si Klien Gemuk menggebu-gebu.
“Memperkosa?” tanya ayah sekali lagi.
“Benar. Anakku kini hamil tiga bulan. Aku sudah melarangnya pergi ke sekolah lagi karena perutnya telah membuncit. Aku lebih baik menghabisi nyawa bapak dari janin itu daripada membunuh jabang cucuku.”
“Anda yakin? Saya tidak ingin lain kali Anda datang ke sini dengan penyesalan,” tanya ayahku sekali lagi.
“Sangat yakin,” tegas si Klien Tambun disusul anak buah di samping nya yang langsung mengangkat kopernya ke tengah meja lalu membuka isinya. Tumpukan uang dalam mata uang Euro tersusun rapi dan memenuhi koper.
“Jumlahnya lebih dari harga yang biasa Anda tawarkan. Saya ingin pekerjaan ini berlangsung dengan cepat,” desak si Klien Tambun.
“Saya tidak bisa mempercepat pekerjaan ini dengan alasan apapun. Seperti biasa, satu bulan untuk pengamatan. Hari terakhir adalah pengeksekusian. Saya hanya akan menerima jumlah yang biasa saya tawarkan. Sisanya silahkan Anda bawa pulang,” tegas ayah yang tidak mau diganggu gugat. Aku salut dengan ketegasan ayah yang tidak mau mempercepat pekerjaannya walupun diiming-imingi uang yang sangat banyak. Yang pasti bisa membawa kami berlibur keliling Eropa selama berbulan-bulan.
“Baiklah. Saya bisa menunggu satu bulan. Tidak usah merisaukan tentang sisa uang itu. ambil saja sebagai tanda pertemanan saya,” si Klien Tambun berdiri untuk meminta pamit.
“Pasti Anda keliru jika ingin berteman dengan seorang pembunuh. Hahahaha,” tawa ayah disertai dengan tawa susulan si Klien Tambun.
“Turunlah Dara! Kau pikir aku tak tahu sudah berapa lama kau mengintip dari atas sana?” seru ayah tiba-tiba yang mengagetkanku setelah si Klien Tambun keluar dari ruang kerja ayah. Fandi dan Garna terkekeh.
“Kok ayah tahu sih?” tanyaku sambil masih shock.
“Kau ini penjahat cilik! Kau pikir siapa yang mengajarkanmu teknik mata-mata? Cepat turun! Kau harus dihukum karena ini.”
“Iya, iya. Bentar!” sungutku sambil membungkuk-bungkuk menyusuri terowongan lubang yang menghubungkan antar ruangan di gedung ini.
Begitu aku meloncat turun dari lubang udara di kamar Tania yang sudah kulepas penutupnya sejak keberangkatanku tadi, Tania sudah menyambutku. Dia belum mandi dan berdandan, kelihatannya dia tidak sanggup melakukan semua itu sebelum sempat mengetahui keadaanku selesai mematai-matai ayah.
“Bagaimana? Aku mendengar kamu tadi teriak-teriak. Apa kamu ketahuan?” tanya Tania dengan tidak sabar.
“Gitu deh. Tapi kali ini ayah agak melunak,” jawabku sambil menyeka debu yang menempel di bajuku, “Mungkin akhirnya ayah mau ngajakin aku melaksanakan misinya, hihihi!”
“Dara, aku nggak bisa bayangin kalau kamu membunuh orang…” desah Tania takut-takut.
“Memang itu yang aku inginkan. Sudahlah, lagipula nggak sembarang orang yang kami bunuh. Semuanya orang jahat,” hiburku.
“Tetap saja, membunuh―maksudku, membunuh juga nggak pernah dibenarkan.”
“Melacur juga nggak dibenarkan,” sahutku sambil berlalu dari kamar Tania.

Friday, January 22, 2010

Aku Mencintaimu

-CERITA NYATA INI DATANG DARI KOREA-
(hasil terjemahanku nih :P)
AKU MENCINTAIMU
Aku punya seorang teman sejak kecil, namanya Jin. Selama ini selalu menganggapnya sebagai teman sampai tahun lalu, ketika kami pergi bertamasya yang merupakan salah satu agenda kelompok ekstrakurikuler kami di sekolah. saat itulah aku sadar bahwa aku jatuh cinta padanya. Sebelum tamasya itu berakhir aku memberanikan diri menghampirinya lalu menyatakan perasaanku. Sejak itu, kami menjadi sepasang kekasih tapi kami saling mencintai dengan cara yang berbeda. Aku selalu memberikan perhatianku hanya kepadanya. Lain dengannya, di adikelilingi banyak gadis. Bagiku, dia adalah satu-satunya namun baginya, mungkin aku sama dengan gadis lainnya.
“Jin, malam ini nonton yuk?” tanyaku saat perjalanan pulangsekolah bersamanya.
“Aku nggak bisa.”
“Kenapa? Kamu mau belajar aja di rumah?” aku kecewa dia menolak ajakanku.
“Nggak… aku mau pergi ketemu seorang temen…”
Dia selalu seperti itu. dia menemui gadis lain di depan mataku seperti itu hal yang biasa. Baginya aku hanya teman biasa. Kata “cinta” hanya keluar dari mulutku. Aku nggak pernah mendengar dia bilang “Aku mencintaimu” sebelumnya. Bagi kami, nggak ada perayaan hari jadian sama sekali. Dia nggak bilangapapun sejak hari pertama kami jadian sampai 100 hari berikutnya, 200 hari…
Setiap hari sebelum berpisah denganku, dia memberiku sebuah boneka, setiap hari, tanpa terkecuali. Aku nggak tahu sebabnya…
Lalu suatu hari…
“Um, Jin, aku…”
“Ada apa? Jangan ngomong setengah-setengah. Bilang aja…”

“Aku mencintaimu.”
“….Kamu.. um, bawa boneka ini dan pulanglah.”
Begitulah caranya tidak memperdulikan “tiga kata”ku dan memberiku sebuah boneka. Kemudian dia menghilang.
Boneka-boneka yang aku terima darinya setiap hari, memenuhi kamarku, satu persatu. Ada banyak sekali….
Kemudian datanglah hari ulang tahunku yang ke -15. Ketika aku bangun pada pagi harinya, aku menyusun sebuah pesta bersamanya dan diam di kamar menunggu telepon darinya. Tetapi… makan siang berlalu, makan malam berlalu.. dan dengan segera langit telah gelap..dia belum juga menelponku. Aku sudah lelah memelototi Hpku. Sekitar jam dua dini hari dia tiba-tiba menelponku dan membangunkanku dari tidur. Dia menyuruhku untuk ke luar rumah. Dan aku masih saja senang dan berlari ke arahnya dengan riang.
“Jin…”
“Ini, ambillah…”
Sekali lagi, dia memberiku sebuah boneka.
“Apa ini?”
“Aku nggak memberikannya padamu kemarin, jadi aku memberikannya sekarang. Aku pulang dulu, ya. Sampai jumpa.”
“Tunggu, tunggu! Apa kamu tahu ini hari apa?”
“Hari ini, hmm..”
Aku merasa sangat sedih, aku kira dia akan ingat hari ulang tahunku. Dia berbalik dan berjalan pulang seperti nggak ada yang terjadi. Kemudian aku berteriak..
“Tunggu…”
“Kamu mau ngomong sesuatu?”
“Bilang, bilang padaku kalau kamu mencintaiku!”
“Apa?!”
“Bilang!”
Aku mengeluarkan semua unek-unek yang ada di kepalaku dan memegang tangannya erat-erat. Tapi ia dengan dingin mengatakan kalimat yang sederhana dan meninggalkanku.
“Aku nggak pengen mengatakannya dengan mudah. Kalau kamu udah putus asa ingin mendengarkan kalimat itu, carilah yang lain.”
Itulah kalimatnya saat itu. kemudian dia berlari pulang. kakiku serasa membeku.. dan aku terjatuh di tanah. Dia nggak pengen mengatakannya dengan mudah… Bagaimana bisa dia… Aku bisa merasakannya.. mungkin dia bukan orang yang tepat untukku. Sejak hari itu aku seharian dirumah menangis, hanya menangis. Dia nggak menelponku meskipun sebenarnya aku menunggu teleponnya. Dia masih saja memberiku boneka setiap pagi di depan pintu rumahku. Itulah sebabnya boneka-boneka itu bisa memenuhi kamar tidurku…setiap hari.
Sebulan berlalu, aku kembali ke sekolah. tapi lagi-lagi aku terluka… aku melihatnya di ujung jalan…dengan gadis lain… dia tersenyum, senyum yang nggak pernah ia perluhatkan padaku.. seperti sia menyentuh boneka, benda mati. Aku berbalik pulang ke rumah dan memandangi boneka-boneka pemberiannya selama ini di dalam kamarku dan air mataku pun jatuh… kenapa dia memberiku semua ini? Boneka-boneka itu mungkin saja didapatkannya dari gadis lain… dengan marah aku membuang semua boneka-boneka tadi. Tiba-tiba telepon berdering. Darinya. Dia menyuruhku untuk datang ke sebuah halte bus dekat nggak jauh dari rumahku. Aku mencoba menenangkan diri dan berjalan ke halte. Aku mencoba mengingatkan diriku untuk melupakannya, bahwa.. inilah saatnya. Kemudian dia menghampiriku, membawa sebuah boneka besar.
“Jo, aku pikir kamu marah tapi kamu benar-benar datang?”
Aku nggak bisa mencoba membencinya. Aku bersikap seperti nggask pernah terjadi suatu apapun dan bercanda dengannya. Kemudian dia memberiku boneka yang tadi.
“Jin, aku memerlukannya.”
“Apa? Kenapa?”
Aku merebut boneka itu dari tangannya dan membuangnya ke jalanan.
“aku nggak mau semua ini! Aku nggak memerlukannya lagi!! Aku nggak mau liat orang kayak kamu lagi!” aku mengeluarkan semua isi hatiku yang terpendam. Tapi nggak seperti hari lainnya, matanya mulai mengambang.
“Maafkan aku,” dia meminta maaf padaku dengan suara yang sangat lirih. Kemudia dia berjalan ke tengah jalan untuk mengambil bonekanya tadi…
“Dasar bodoh! Ngapain kamu ambil boneka itu! Buang aja!”
Tapi dia tak mengacuhkanku dan tetap berjalan menghampiri bonekanya, kemudian…
“Teeet, teeeeeeet!” sebuah truk besar melaju dengan kecepatan tinggi membunyikan klaksonnya untuk Jin.
“Jin, pergi! Pergi! Aku berteriak memperingatkannya… tapi dia nggak mendengarkanku, dia membungkuk dan mengambil bonekanya.
“Jin, pergi!!”
“Teeeet!” “Boom!!”
Suara itu sungguh memekakkan telingaku. Begitulah caranya pergi dariku. Begitulah caranya dia pergi tanpa membuka lagi matanya untuk mengucapkan sepatah kata pun padaku.
Sejak saat itu, aku harus melewati hari-hariku dengan perasaan bersalah. Dan setelah dua bulan aku menghabiskan waktukku seperri orang gila… aku mengambil boneka-bonekaku, satu-satunya pemberiannya sejak hari pertama kami jadian. Aku mengingat-ingat hari-hari yang telah kuhabiskan bersamanya dan mulai menghitungnya… saat-saat kami pacaran…
“Satu…dua…tiga…”
“Empat ratus delapan puluh empat… empat ratus delapan puluh lima..” semua berakhir dengan 485 boneka. Aku kemudian mulai menangis lagi, dengan sebuah boneka di pelukanku. Aku memeluknya dengan erat, kemudian tiba-tiba…
“I love you” aku menjatuhkan boneka itu, terkejut.
“I…lo…ve…you??” aku mengambil kembali boneka itu kemudian menekan perutnya.
“I love you.. I love you.”
Nggak mungkin! Aku tekan semua perut boneka-boneka itu.
“I love you.”
“I love you.”
“I love you.”
Semua kata-kata tadi memenuhi ruanganku tanpa henti… kenapa aku nggak pernah menyadarinya…bahwa hatinya selalu bersamaku, melindungiku. Kenapa aku nggak menyadari betapa dia sangat mencintaiku… aku mengambil sebuah boneka di bawah ranjangku lalu menekan perutnya, itu adalah boneka terakhir yang diberikannya padaku, boneka yang dulu aku buang di jalan itu. masih ada bekas darah pada boneka itu. darah Jin. Suara keluar dari dalam boneka tadi, suara yang sangat aku rindukan..
“Jo…kamu tahu nggak hari ini hari apa?” kita udah pacaran selama 486 hari! Kamu tahu arti 486? Aku nggak bisa berkata ‘aku mencintaimu’, um…karena aku terlalu malu…kalau kamu mau memaafkanku dan menerima boneka ini, aku akan bilang bahwa aku mencintaimy…setiap hari..sampai aku mati…Jo…Aku mencintaimu!”